Sebagian Duit Suap HGU Kakanwil BPN Riau Diduga Sudah Digunakan
Candra Yuri Nuralam • 14 Desember 2022 08:39
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga sebagian uang suap terkait pengurusan hak guna usaha (HGU) yang diterima Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir sudah digunakan. Dua saksi yang dipanggil penyidik membeberkan penggunaan duit panas itu.
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan aliran penggunaan sejumlah uang yang diterima tersangka MS (M Syahrir)," kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Rabu, 14 Desember 2022.
Dua saksi itu yakni ibu rumah tangga Eva Rusnati dan asisten rumah tangga (ART) Okta Mayasari. Ali enggan memerinci penggunaan uang demi menjaga kerahasiaan proses penyidikan.
Kasus ini bermula ketika pemegang saham PT Adimulia Agrolestari Frank Wijaya meminta General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso mengurus perpanjangan HGU perusahaannya yang berakhir pada 2024. Sudarso langsung menghubungi Syahrir untuk mempercepat proses pengurusan.
Syahrir meminta Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk mempercepat pengurusan HGU. Permintaan itu berlangsung di rumah dinas Syahrir.
Sudarso langsung melaporkan permintaan itu kepada Frank dan langsung disetujui. Frank menyiapkan SGD120 ribu untuk menyanggupi permintaan Syahrir.
Penyerahan uang terjadi di rumah dinas Syahrir sekitar September 2021. Syahrir melarang Sudarso membawa alat komunikasi saat penyerahan duit suap.
Setelah perpanjangan didapat, Frank meminta Sudarso mengajukan surat permohonan kemitraan di Kampar kepada Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) saat itu, Andi Putra. Andi tidak keberatan dengan kemitraan itu,
Dalam kasus ini, Frank bersama Sudarso diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara M. Syahrir selaku penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga sebagian uang suap terkait pengurusan hak guna usaha (HGU) yang diterima Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau M Syahrir sudah digunakan. Dua saksi yang dipanggil penyidik membeberkan penggunaan duit panas itu.
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan aliran penggunaan sejumlah uang yang diterima tersangka MS (M Syahrir)," kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Rabu, 14 Desember 2022.
Dua saksi itu yakni ibu rumah tangga Eva Rusnati dan asisten rumah tangga (ART) Okta Mayasari. Ali enggan memerinci penggunaan uang demi menjaga kerahasiaan proses penyidikan.
Kasus ini bermula ketika pemegang saham PT Adimulia Agrolestari Frank Wijaya meminta General Manager PT Adimulia Agrolestari Sudarso mengurus perpanjangan HGU perusahaannya yang berakhir pada 2024. Sudarso langsung menghubungi Syahrir untuk mempercepat proses pengurusan.
Syahrir meminta Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura untuk mempercepat pengurusan HGU. Permintaan itu berlangsung di rumah dinas Syahrir.
Sudarso langsung melaporkan permintaan itu kepada Frank dan langsung disetujui. Frank menyiapkan SGD120 ribu untuk menyanggupi permintaan Syahrir.
Penyerahan uang terjadi di rumah dinas Syahrir sekitar September 2021. Syahrir melarang Sudarso membawa alat komunikasi saat penyerahan duit suap.
Setelah perpanjangan didapat, Frank meminta Sudarso mengajukan surat permohonan kemitraan di Kampar kepada Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) saat itu, Andi Putra. Andi tidak keberatan dengan kemitraan itu,
Dalam kasus ini, Frank bersama Sudarso diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara M. Syahrir selaku penerima diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)