medcom.id, Jakarta: Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir divonis empat tahun penjara denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan. Abdul dinilai bersalah memberikan duit untuk suksesi Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Amran Hi Mustary dan sejumlah anggota DPR. Suap itu dilakukan supaya pembangunan dan rekonstruksi jalan di Maluku masuk dalam program aspirasi Komisi V DPR RI.
"Terdakwa Abdul Khoir terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berulang. Menjatuhkan pidana penjara pada Abdul Khoir dengan pidana penjara empat tahun, serta membayar denda Rp200 juta apabila tidak dapat membayar diganti pidana penjara selama lima bulan," ujar Hakim Ketua Mien Trisnawati saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/6/2016).
Hakim Faisal Hendri dalam pertimbangannya menyebut suap bermula ketika Amran yang menduduki jabatan Kepala BPJN IX membutuhkan dana suksesi. Amran kemudian minta dikenalkan dengan sejumlah kontraktor di Maluku.
Kemudian diadakan pertemuan antara Herry, Imran S Djumadil, Hong Arta John Alfred, dan Abdul. Dalam kesempatan itu Amran meminta duit pada Hong dan Abdul sejumlah Rp8 miliar dan dijanjikan bakal mendapat proyek di Maluku.
"Menindaklanjuti permintaan Amran, terdakwa menyerahkan uang pada Amran melalui Herry di Hotel Arcadia sejumlah Rp8 miliar. Herry kemudian menyerahkan uang pada Amran sebersar Rp6 miliar, Rp2 miliar sisanya awalnya ditahan kemudian diserahkan pada Amran sehingga Amran mendapat Rp7 miliar, Rp1 miliar dipakai Herry untuk dana operasional," beber Jaksa Faisal.
Selanjutnya, Abdul menemui Amran dan menanyakan duit Rp8 miliar yang sudah diserahkan. Tapi kemudian, Amran menyebut hanya mendapat duit Rp7 miliar lantaran Rp1 miliar dipakai oleh Herry.
Amran kemudian kata Hakim Faisal kembali meminta duit Rp2 miliar sebagai pengganti uang yang dipakai oleh Herry. Lagi-lagi kata Hakim Faisal, Abdul memberikan Rp2 miliar secara bertahap.
Terdakwa kasus dugaan suap kepada anggota DPR RI terkait proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Abdul Khoir berdiskusi dengan penasehat hukumnya ketika menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/6). Foto: MI/Rommy Pujianto
Selanjutnya pada Juli 2015 ada pembahasan RAPBN 2015 antara KemenPUPR dan Komisi V DPR. Amran menghubungi Abdul dan memberitahukan akan ada program aspirasi yang akan dilaksanakan dan bakal diusahakan supaya perusahaan Abdul dan Hong bakal ikut serta.
Supaya Abdul dapat, lagi-lagi Amran meminta dana Rp3 miliar serta fee untuk anggota DPR RI. Menanggapi itu, terdakwa kembali memberikan duit Rp2,6 miliar buat Amran.
"Selain pemberian uang itu, 6 Agustus 2015 bertempat di Swiss Bell Hotel Ambon terdakwa memberi Rp455 juta pada Amran untuk dibagikan pada anggota DPR Komisi V yang datang untuk mengadakan kunjungan kerja," beber Hakim Faisal.
Selanjutnya Abdul secara berturut-turut memberikan duit pada Amran sejumlah Rp500 juta, Rp2 miliar, Rp25 juta, dan Rp200 juta.
Abdul juga memberikan duit pada anggota DPR dari Fraksi PAN Andi Taufan Tiro sejumlah Rp2,2 miliar dan SGD462.789. Duit diberikan sebagai fee lantaran Andi memasukan program aspirasi pembangunan Ruas Jalan Wayabula–Sofi dan peningkatan ruang Jalan Wayabula–Sofi.
Terdakwa kasus dugaan suap anggota DPR Abdul Khoir (tengah) didampingi penasehat hukumnya berjalan usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/6). Foto: MI/Rommy Pujianto
Abdul juga memberikan duit sejumlah Rp4,8 miliar dan SGD328.377 pada anggota DPR RI Fraksi PKB Musa Zainuddin. Duit diberikan sebagai fee atas proyek Pembangunan Jalan Taniwel-Saleman.
Kemudian Abdul juga memberikan duit sejumlah SGD328 ribu, dan Rp1 miliar pada eks anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti untuk usulan program aspirasi pelebaran jalan Tehoru-Laimu. Serta memberikan eks anggota DPR Fraksi Golkar Budi Supriyanto SGD404 ribu agar mengusulkan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu.
Lantaran perbuatannya itu, Hakim menilai Abdul terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiman telah diunah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Abdul diberatkan lantaran perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, perbuatan terdakwa menghambat jalannya check and balance, perbuatan terdakwa menghambat jalannya pembangunan khususnya rekonstruksi jalanan, perbuatan terdakwa melibatkan banyak pihak.
Dua terdakwa kasus dugaan suap proyek pelebaran jalan di Maluku Utara, Dessy Ariyanti Edwin (kiri) dan Julia Prasetyarini (kanan) duduk di ruang sidang menunggu jalannya sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/6). Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Sementara Abdul diringankan lantaran sopan dalam persidangan, berterus terang, mengakui dan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan melakukan kembali, Abdul masih muda sehingga dinilai dapat memperbaiki diri dan menjadi pengusaha yang baik, masih mempunyai tanggungan keluarga, istri dan anak yang masih kecil.
Putusan pada Abdul lebih berat dari tuntutan dan dibuat jaksa penuntut umum pada KPK. Sebelumnya, Abdul dituntut Rp2,5 tahun penjara denda Rp200 juta subsider lima bulan.
medcom.id, Jakarta: Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir divonis empat tahun penjara denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan. Abdul dinilai bersalah memberikan duit untuk suksesi Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Amran Hi Mustary dan sejumlah anggota DPR. Suap itu dilakukan supaya pembangunan dan rekonstruksi jalan di Maluku masuk dalam program aspirasi Komisi V DPR RI.
"Terdakwa Abdul Khoir terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berulang. Menjatuhkan pidana penjara pada Abdul Khoir dengan pidana penjara empat tahun, serta membayar denda Rp200 juta apabila tidak dapat membayar diganti pidana penjara selama lima bulan," ujar Hakim Ketua Mien Trisnawati saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/6/2016).
Hakim Faisal Hendri dalam pertimbangannya menyebut suap bermula ketika Amran yang menduduki jabatan Kepala BPJN IX membutuhkan dana suksesi. Amran kemudian minta dikenalkan dengan sejumlah kontraktor di Maluku.
Kemudian diadakan pertemuan antara Herry, Imran S Djumadil, Hong Arta John Alfred, dan Abdul. Dalam kesempatan itu Amran meminta duit pada Hong dan Abdul sejumlah Rp8 miliar dan dijanjikan bakal mendapat proyek di Maluku.
"Menindaklanjuti permintaan Amran, terdakwa menyerahkan uang pada Amran melalui Herry di Hotel Arcadia sejumlah Rp8 miliar. Herry kemudian menyerahkan uang pada Amran sebersar Rp6 miliar, Rp2 miliar sisanya awalnya ditahan kemudian diserahkan pada Amran sehingga Amran mendapat Rp7 miliar, Rp1 miliar dipakai Herry untuk dana operasional," beber Jaksa Faisal.
Selanjutnya, Abdul menemui Amran dan menanyakan duit Rp8 miliar yang sudah diserahkan. Tapi kemudian, Amran menyebut hanya mendapat duit Rp7 miliar lantaran Rp1 miliar dipakai oleh Herry.
Amran kemudian kata Hakim Faisal kembali meminta duit Rp2 miliar sebagai pengganti uang yang dipakai oleh Herry. Lagi-lagi kata Hakim Faisal, Abdul memberikan Rp2 miliar secara bertahap.
Terdakwa kasus dugaan suap kepada anggota DPR RI terkait proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Abdul Khoir berdiskusi dengan penasehat hukumnya ketika menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/6). Foto: MI/Rommy Pujianto
Selanjutnya pada Juli 2015 ada pembahasan RAPBN 2015 antara KemenPUPR dan Komisi V DPR. Amran menghubungi Abdul dan memberitahukan akan ada program aspirasi yang akan dilaksanakan dan bakal diusahakan supaya perusahaan Abdul dan Hong bakal ikut serta.
Supaya Abdul dapat, lagi-lagi Amran meminta dana Rp3 miliar serta fee untuk anggota DPR RI. Menanggapi itu, terdakwa kembali memberikan duit Rp2,6 miliar buat Amran.
"Selain pemberian uang itu, 6 Agustus 2015 bertempat di Swiss Bell Hotel Ambon terdakwa memberi Rp455 juta pada Amran untuk dibagikan pada anggota DPR Komisi V yang datang untuk mengadakan kunjungan kerja," beber Hakim Faisal.
Selanjutnya Abdul secara berturut-turut memberikan duit pada Amran sejumlah Rp500 juta, Rp2 miliar, Rp25 juta, dan Rp200 juta.
Abdul juga memberikan duit pada anggota DPR dari Fraksi PAN Andi Taufan Tiro sejumlah Rp2,2 miliar dan SGD462.789. Duit diberikan sebagai fee lantaran Andi memasukan program aspirasi pembangunan Ruas Jalan Wayabula–Sofi dan peningkatan ruang Jalan Wayabula–Sofi.
Terdakwa kasus dugaan suap anggota DPR Abdul Khoir (tengah) didampingi penasehat hukumnya berjalan usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/6). Foto: MI/Rommy Pujianto
Abdul juga memberikan duit sejumlah Rp4,8 miliar dan SGD328.377 pada anggota DPR RI Fraksi PKB Musa Zainuddin. Duit diberikan sebagai fee atas proyek Pembangunan Jalan Taniwel-Saleman.
Kemudian Abdul juga memberikan duit sejumlah SGD328 ribu, dan Rp1 miliar pada eks anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti untuk usulan program aspirasi pelebaran jalan Tehoru-Laimu. Serta memberikan eks anggota DPR Fraksi Golkar Budi Supriyanto SGD404 ribu agar mengusulkan kegiatan pekerjaan rekonstruksi Jalan Werinama-Laimu.
Lantaran perbuatannya itu, Hakim menilai Abdul terbukti bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaiman telah diunah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Abdul diberatkan lantaran perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, perbuatan terdakwa menghambat jalannya check and balance, perbuatan terdakwa menghambat jalannya pembangunan khususnya rekonstruksi jalanan, perbuatan terdakwa melibatkan banyak pihak.
Dua terdakwa kasus dugaan suap proyek pelebaran jalan di Maluku Utara, Dessy Ariyanti Edwin (kiri) dan Julia Prasetyarini (kanan) duduk di ruang sidang menunggu jalannya sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/6). Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Sementara Abdul diringankan lantaran sopan dalam persidangan, berterus terang, mengakui dan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan melakukan kembali, Abdul masih muda sehingga dinilai dapat memperbaiki diri dan menjadi pengusaha yang baik, masih mempunyai tanggungan keluarga, istri dan anak yang masih kecil.
Putusan pada Abdul lebih berat dari tuntutan dan dibuat jaksa penuntut umum pada KPK. Sebelumnya, Abdul dituntut Rp2,5 tahun penjara denda Rp200 juta subsider lima bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)