Jakarta: Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 yang mengatur penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui jalur rehabilitasi. Hal ini dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) sebagai asas dominus litis atau kewenangan melakukan penuntutan yang mutlak dimiliki jaksa.
"Tujuan dari ditetapkannya pedoman tersebut ditujukan untuk optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa sebagai pengendali perkara," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Minggu, 7 November 2021.
Leonard menyebut Pedoman 18/2021 mulai berlaku sejak Senin, 1 November 2021 dan berlaku untuk tersangka yang dijerat melanggar ketentuan Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika, yang perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan.
Beleid UU Narkotika itu memerinci hukuman terhadap penyalahguna pada tiga golongan narkotika bagi diri sendiri. Penyalahguna narkotika golongan I dipidana penjara paling lama 4 tahun, golongan II paling lama 2 tahun, dan golongan II paling lama 1 tahun.
Menurut Leonard, sistem peradilan pidana yang cenderung punitif dan menyebabkan overcrowding lembaga pemasyarakatan menjadi latar belakang dikeluarkannya pedoman tersebut. Isu overcrowding menjadi perhatian serius masyarakat dan pemerintah serta telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
"Oleh karenanya, diperlukan kebijakan kriminal yang bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, salah satunya melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan UU Narkotika," jelas Leonard.
Baca: Narapidana Rutan Kolaka Diduga Kendalikan Narkoba Jaringan Malaysia
Melalui reorientasi itu, jaksa selaku pengendali perkara dapat menyelesaikan perkara penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan. Mekanisme itu tidak terlepas dari pendekatan keadilan restoratif yang selalu didengungkan Jaksa Agung.
"Dengan semangat untuk memulihkan keadaan semula yang dilakukan dengan memulihkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat victimless crime," ujar Leonard.
Proses rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika mengedepankan keadilan restoratif dan kemanfaatan serta mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, berbiaya ringan, serta asas pidana sebagai upaya terakhir, dan pemulihan pelaku. Jaksa Agung berharap pedoman itu dilaksanakan penuntut umum sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab.
"Dan, tidak melakukan perbuatan tercela dalam penerapannya, serta akan menindak tegas setiap oknum kejaksaan yang mencoba mencederai maksud dan tujuan dikeluarkannya pedoman dimaksud," ujar dia.
Sebelumnya, Jaksa Agung meminta jajarannya mengedepankan hati nurani dan menegakkan keadilan restoratif sebagai pengendali perkara pidana. Apalagi, masih banyak masyarakat kecil dan kurang mampu yang sulit mengakses keadilan hukum.
Sampai 31 Oktober 2021, Burhanuddin menyebut sudah ada 314 perkara yang diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif.
Jakarta:
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 yang mengatur penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan
narkotika melalui jalur
rehabilitasi. Hal ini dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif (
restorative justice) sebagai asas dominus litis atau kewenangan melakukan penuntutan yang mutlak dimiliki jaksa.
"Tujuan dari ditetapkannya pedoman tersebut ditujukan untuk optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas
dominus litis jaksa sebagai pengendali perkara," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Minggu, 7 November 2021.
Leonard menyebut Pedoman 18/2021 mulai berlaku sejak Senin, 1 November 2021 dan berlaku untuk tersangka yang dijerat melanggar ketentuan Pasal 127 Ayat (1) Undang-Undang Narkotika, yang perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan.
Beleid UU Narkotika itu memerinci hukuman terhadap penyalahguna pada tiga golongan narkotika bagi diri sendiri. Penyalahguna narkotika golongan I dipidana penjara paling lama 4 tahun, golongan II paling lama 2 tahun, dan golongan II paling lama 1 tahun.
Menurut Leonard, sistem peradilan pidana yang cenderung punitif dan menyebabkan
overcrowding lembaga pemasyarakatan menjadi latar belakang dikeluarkannya pedoman tersebut. Isu
overcrowding menjadi perhatian serius masyarakat dan pemerintah serta telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
"Oleh karenanya, diperlukan kebijakan kriminal yang bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, salah satunya melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan UU Narkotika," jelas Leonard.
Baca:
Narapidana Rutan Kolaka Diduga Kendalikan Narkoba Jaringan Malaysia
Melalui reorientasi itu, jaksa selaku pengendali perkara dapat menyelesaikan perkara penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan. Mekanisme itu tidak terlepas dari pendekatan keadilan restoratif yang selalu didengungkan Jaksa Agung.
"Dengan semangat untuk memulihkan keadaan semula yang dilakukan dengan memulihkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat
victimless crime," ujar Leonard.
Proses rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika mengedepankan keadilan restoratif dan kemanfaatan serta mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, berbiaya ringan, serta asas pidana sebagai upaya terakhir, dan pemulihan pelaku. Jaksa Agung berharap pedoman itu dilaksanakan penuntut umum sebaik-baiknya dengan penuh rasa tanggung jawab.
"Dan, tidak melakukan perbuatan tercela dalam penerapannya, serta akan menindak tegas setiap oknum kejaksaan yang mencoba mencederai maksud dan tujuan dikeluarkannya pedoman dimaksud," ujar dia.
Sebelumnya, Jaksa Agung meminta jajarannya mengedepankan hati nurani dan menegakkan keadilan restoratif sebagai pengendali perkara pidana. Apalagi, masih banyak masyarakat kecil dan kurang mampu yang sulit mengakses keadilan hukum.
Sampai 31 Oktober 2021, Burhanuddin menyebut sudah ada 314 perkara yang diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)