Jakarta: Beragam kasus diskriminasi masih marak terjadi di Indonesia. Tingginya kasus mendorong perlunya penguatan kerangka hukum nasional untuk melindungi kelompok rentan dari diskriminasi.
Untuk itu Program Gabungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk HIV dan AIDS (UNAIDS) berkolaborasi dengan Yayasan Akselerasi Warta Resolusi menyelengggarakan Diskusi Publik Nasional mengenai Penguatan Kerangka Hukum Nasional dalam Perlindungan Kelompok Rentan dari Diskriminasi di Gedung MPR/DPR RI, Senayan.
Acara ini mempertemukan sejumlah pemangku kebijakan pemerintahan nasional beserta perwakilan kelompok masyarakat sipil, akademisi dan praktisi, untuk berdialog tentang urgensi pembentukan RUU Anti Diskriminasi yang komprehensif, yang dapat melindungi setiap warga negara dari segala bentuk stigma dan diskriminasi atas dasar apapun.
"Berdasarkan hasil pemantauan dan dokumentasi media dari Januari 2021 hingga September 2022, LBHM menemukan setidaknya 109 pemberitaan yang mendokumentasikan 187 kasus stigma, ujaran kebencian, dan diskriminasi yang berbasis HIV," kata Albert Wirya selaku perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Ketua Umum Sanggar Swara, Khanza Vinaa menambahkan, “Diskriminasi masih sering dialami oleh teman-teman transpuan di berbagai daerah di Indonesia. Namun, hingga hari ini, Indonesia masih belum memiliki undang-undang yang secara komprehensif melindungi hak-hak kelompok rentan, termasuk orang yang hidup dengan HIV (ODHIV), transpuan, dan kelompok populasi kunci. Justru yang semakin banyak bermunculan selama 2 tahun terakhir adalah peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif terhadap individu dengan keberagaman gender dan orientasi seksual.”
Pernyataan ini didukung tinjauan hukum yang dilakukan oleh Konsorsium Crisis Response Mechanism dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Ditemukan dari 63 peraturan undang-undangan nasional yang mengandung prinsip non- diskriminatif, tidak ada yang secara spesifik dan tegas melarang diskriminasi terhadap masyarakat berdasarkan status kesehatan, pekerjaan, identitas, dan ekspresi gender.
Diskriminasi terhadap kelompok rentan juga memberi dampak pada program penanggulangan HIV seperti yang disampaikan oleh Krittayawan Boonto, UNAIDS Country Director untuk Indonesia.
"Stigma dan diskriminasi masih terus meluas di Indonesia. Hal ini menghalangi orang yang hidup dengan HIV dan populasi kunci untuk mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan sehingga melemahkan pencegahan, pengobatan, dan perawatan HIV di Indonesia. Penguatan kerangka hukum anti-diskriminasi ini harus didorong untuk menjadi agenda prioritas dan disepakati oleh berbagai pihak untuk perlindungan hak asasi manusia kelompok rentan, termasuk ODHIV dan populasi kunci," kata Krittayawan Boonto.
Penyelenggaraan Diskusi Publik Nasional ini bertepatan dengan peringatan Zero Discrimination Day, yang setiap tahunnya jatuh di tanggal 1 Maret dan dicetuskan oleh UNAIDS. Dalam semangat penghapusan diskriminasi, perwakilan dari 18 partai politik peserta Pemilihan Umum 2024 serta para hadirin lainnya di Diskusi Publik Nasional, turut menandatangani Ikrar Kebangsaan sebagai langkah awal komitmen bersama dalam perlindungan kelompok rentan – melawan prasangka, stereotipe, dan stigma, dan mencapai kesetaraan bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
“Komitmen bersama ini merupakan langkah signifikan untuk mempromosikan inklusi dan kesetaraan bagi semua individu dan kelompok, terutama mereka yang paling rentan terhadap diskriminasi,” kata Arsul Sani selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Masyarakat Republik Indonesia (MPR RI) yang juga adalah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
“Kami percaya bahwa memperkuat kerangka hukum nasional dapat membantu menciptakan masyarakat di mana setiap orang dihargai, dihormati, dan dilindungi, terlepas dari latar belakang, identitas, atau status mereka,” katanya menambahkan.
Jakarta: Beragam kasus diskriminasi masih marak terjadi di Indonesia. Tingginya kasus mendorong perlunya penguatan kerangka hukum nasional untuk melindungi kelompok rentan dari diskriminasi.
Untuk itu Program Gabungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk HIV dan AIDS (UNAIDS) berkolaborasi dengan Yayasan Akselerasi Warta Resolusi menyelengggarakan Diskusi Publik Nasional mengenai Penguatan Kerangka Hukum Nasional dalam Perlindungan Kelompok Rentan dari Diskriminasi di Gedung MPR/DPR RI, Senayan.
Acara ini mempertemukan sejumlah pemangku kebijakan pemerintahan nasional beserta perwakilan kelompok masyarakat sipil, akademisi dan praktisi, untuk berdialog tentang urgensi pembentukan RUU Anti Diskriminasi yang komprehensif, yang dapat melindungi setiap warga negara dari segala bentuk stigma dan diskriminasi atas dasar apapun.
"Berdasarkan hasil pemantauan dan dokumentasi media dari Januari 2021 hingga September 2022, LBHM menemukan setidaknya 109 pemberitaan yang mendokumentasikan 187 kasus stigma, ujaran kebencian, dan diskriminasi yang berbasis HIV," kata Albert Wirya selaku perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Ketua Umum Sanggar Swara, Khanza Vinaa menambahkan, “Diskriminasi masih sering dialami oleh teman-teman transpuan di berbagai daerah di Indonesia. Namun, hingga hari ini, Indonesia masih belum memiliki undang-undang yang secara komprehensif melindungi hak-hak kelompok rentan, termasuk orang yang hidup dengan HIV (ODHIV), transpuan, dan kelompok populasi kunci. Justru yang semakin banyak bermunculan selama 2 tahun terakhir adalah peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif terhadap individu dengan keberagaman gender dan orientasi seksual.”
Pernyataan ini didukung tinjauan hukum yang dilakukan oleh Konsorsium Crisis Response Mechanism dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Ditemukan dari 63 peraturan undang-undangan nasional yang mengandung prinsip non- diskriminatif, tidak ada yang secara spesifik dan tegas melarang diskriminasi terhadap masyarakat berdasarkan status kesehatan, pekerjaan, identitas, dan ekspresi gender.
Diskriminasi terhadap kelompok rentan juga memberi dampak pada program penanggulangan HIV seperti yang disampaikan oleh Krittayawan Boonto, UNAIDS Country Director untuk Indonesia.
"Stigma dan diskriminasi masih terus meluas di Indonesia. Hal ini menghalangi orang yang hidup dengan HIV dan populasi kunci untuk mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan sehingga melemahkan pencegahan, pengobatan, dan perawatan HIV di Indonesia. Penguatan kerangka hukum anti-diskriminasi ini harus didorong untuk menjadi agenda prioritas dan disepakati oleh berbagai pihak untuk perlindungan hak asasi manusia kelompok rentan, termasuk ODHIV dan populasi kunci," kata Krittayawan Boonto.
Penyelenggaraan Diskusi Publik Nasional ini bertepatan dengan peringatan Zero Discrimination Day, yang setiap tahunnya jatuh di tanggal 1 Maret dan dicetuskan oleh UNAIDS. Dalam semangat penghapusan diskriminasi, perwakilan dari 18 partai politik peserta Pemilihan Umum 2024 serta para hadirin lainnya di Diskusi Publik Nasional, turut menandatangani Ikrar Kebangsaan sebagai langkah awal komitmen bersama dalam perlindungan kelompok rentan – melawan prasangka, stereotipe, dan stigma, dan mencapai kesetaraan bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
“Komitmen bersama ini merupakan langkah signifikan untuk mempromosikan inklusi dan kesetaraan bagi semua individu dan kelompok, terutama mereka yang paling rentan terhadap diskriminasi,” kata Arsul Sani selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Masyarakat Republik Indonesia (MPR RI) yang juga adalah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
“Kami percaya bahwa memperkuat kerangka hukum nasional dapat membantu menciptakan masyarakat di mana setiap orang dihargai, dihormati, dan dilindungi, terlepas dari latar belakang, identitas, atau status mereka,” katanya menambahkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ROS)