medcom.id, Jakarta: Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai meminta para korban penyiksaan agar tak segan memohon perlindungan maupun bantuan dari LPSK. Dia juga mengimbau kepada para pendamping korban untuk dapat memanfaatkan amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Lebih lanjut Semendawai mendesak aparat penegak hukum dapat menghindari tindakan-tindakan yang masuk katagori penyiksaan dalam proses penegakan hukum.
“Sebaiknya dihindari tindakan-tindakan yang masuk katagori penyiksaan untuk mendapatkan keterangan, baik dari pelaku, saksi maupun korban,” ujar Semendawai di Jakarta, Jumat (26/6) melalui keterangan tertulisnya.
Ada banyak alasan mengapa LPSK melihat kasus penyiksaan ini sebagai prioritas. Alasan Semendawai, kejahatan penyiksaan adalah kejahatan luar biasa. Kejahatan ini juga masuk kategori jus cogens. Artinya, sebagai prinsip dasar hukum internasional yang diakui komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar.
UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kata Semendawai, memang hanya memandatkan tindak pidana tertentu sebagai prioritas, yaitu pelanggaran HAM berat, korupsi, narkotika/psikotropika, terorisme dan tindak pidana lain yang posisi saksi atau korban sangat terancam jiwanya. UU itu tidak secara spesifik menyebut saksi dan korban penyiksaan.
Meski demikian, LPSK telah menangani sejumlah korban penyiksaan yang sesuai dengan definisi Konvensi Anti Penyiksaan, meskipun di dalam penegakan hukum disebut sebagai penganiayaan ringan/berat atau penganiayaan yang menyebabkan matinya orang atau pengeroyokan secara bersama-sama.
“Secara komitmen, LPSK telah mencoba memosisikan sebagai lembaga yang memberikan perlindungan serta layanan terhadap saksi dan korban penyiksaan,” kata Semendawai.
Namun, dengan hadirnya UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, penyiksaan sudah menjadi salah satu tindak pidana prioritas LPSK.
Hal ini disebutkan secara jelas pada Pasal 6 UU tersebut, yang menyebut korban pelanggaran HAM berat, terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual dan penganiayaan berat, berhak mendapatkan hak-haknya sesuai Pasal 5, serta bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Namun, karena tindak pidana penyiksaan belum dikenal dalam hukum pidana positif, sehingga ketentuan itu harus ditafsirkan. "Misalnya, apabila seseorang itu menjadi korban penganiayaan, atau apabila pelaku penganiayaan adalah aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum, atau bisa pula penganiayaan itu dimaksudkan untuk mengejar pengakuan atau memperoleh pengakuan guna pembuktian," ujarnya.
Seperti diketahui, tanggal 26 Juni diperingati sebagai Hari Anti Penyiksaan Internasional. Pada hari itu diciptakan Konvensi Anti Penyiksaan.
Pasal 2 konvensi ini menyebutkan, setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah yurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang.
"Dan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan serta memasukkannya dalam Ranham untuk meratifikasi optional protocol dari CAT," pungkasnya.
medcom.id, Jakarta: Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai meminta para korban penyiksaan agar tak segan memohon perlindungan maupun bantuan dari LPSK. Dia juga mengimbau kepada para pendamping korban untuk dapat memanfaatkan amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Lebih lanjut Semendawai mendesak aparat penegak hukum dapat menghindari tindakan-tindakan yang masuk katagori penyiksaan dalam proses penegakan hukum.
“Sebaiknya dihindari tindakan-tindakan yang masuk katagori penyiksaan untuk mendapatkan keterangan, baik dari pelaku, saksi maupun korban,” ujar Semendawai di Jakarta, Jumat (26/6) melalui keterangan tertulisnya.
Ada banyak alasan mengapa LPSK melihat kasus penyiksaan ini sebagai prioritas. Alasan Semendawai, kejahatan penyiksaan adalah kejahatan luar biasa. Kejahatan ini juga masuk kategori jus cogens. Artinya, sebagai prinsip dasar hukum internasional yang diakui komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar.
UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kata Semendawai, memang hanya memandatkan tindak pidana tertentu sebagai prioritas, yaitu pelanggaran HAM berat, korupsi, narkotika/psikotropika, terorisme dan tindak pidana lain yang posisi saksi atau korban sangat terancam jiwanya. UU itu tidak secara spesifik menyebut saksi dan korban penyiksaan.
Meski demikian, LPSK telah menangani sejumlah korban penyiksaan yang sesuai dengan definisi Konvensi Anti Penyiksaan, meskipun di dalam penegakan hukum disebut sebagai penganiayaan ringan/berat atau penganiayaan yang menyebabkan matinya orang atau pengeroyokan secara bersama-sama.
“Secara komitmen, LPSK telah mencoba memosisikan sebagai lembaga yang memberikan perlindungan serta layanan terhadap saksi dan korban penyiksaan,” kata Semendawai.
Namun, dengan hadirnya UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, penyiksaan sudah menjadi salah satu tindak pidana prioritas LPSK.
Hal ini disebutkan secara jelas pada Pasal 6 UU tersebut, yang menyebut korban pelanggaran HAM berat, terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual dan penganiayaan berat, berhak mendapatkan hak-haknya sesuai Pasal 5, serta bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Namun, karena tindak pidana penyiksaan belum dikenal dalam hukum pidana positif, sehingga ketentuan itu harus ditafsirkan. "Misalnya, apabila seseorang itu menjadi korban penganiayaan, atau apabila pelaku penganiayaan adalah aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum, atau bisa pula penganiayaan itu dimaksudkan untuk mengejar pengakuan atau memperoleh pengakuan guna pembuktian," ujarnya.
Seperti diketahui, tanggal 26 Juni diperingati sebagai Hari Anti Penyiksaan Internasional. Pada hari itu diciptakan Konvensi Anti Penyiksaan.
Pasal 2 konvensi ini menyebutkan, setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah yurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang.
"Dan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan serta memasukkannya dalam Ranham untuk meratifikasi
optional protocol dari CAT," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(KRI)