Jakarta: Peneliti politik nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sarah Nuraini Siregar, mengatakan ada ketimpangan dalam kerja Polri. Korps Bhayangkara dianggap lebih memilih menindak dibanding mencegah.
"Fungsi optimal yang menjadi tanggung jawab Polri itu menjalankan fungsi preemptifnya (pembinaan) dan preventif (pencegahan), yaitu melakukan pendekatan kepada masyarakat," kata Sarah di Kantor LIPI, Jakarta Selatan, Kamis 4 Juli 2019.
Menurut dia, dalam praktiknya, dua fungsi itu belum berjalan baik. Bahkan, pandangan publik banyak memberikan kritik dan evaluasi terhadap fungsi represif Polri yang dominan.
"Ketimbang dua fungsi lainnya. Fungsi represif ini yang kemudian menimbulkan masalah kekerasan dan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) oleh Polri," jelas Sarah.
Padahal, kata Sarah, penerapan fungsi preemptif dan preventif ini sebetulnya dapat saling mengisi di lapangan. Pasalnya, bagaimanapun juga, sulit bagi polisi untuk berperan optimal.
Baca: Impunitas Aparat Kepolisian Disebut Masih Terjadi
"Selama ini ujung dari fungsi preemptif adalah terciptanya kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum. Padahal dalam fungsi permbinaan ini juga terdapat peluang agar masyarakat turut berpartisipasi dalam mencegah terjadinya potensi kejahatan di lingkungan sekitar," ungkap dia.
Selanjutnya, LIPI memberi saran agar Polri dapat mengoptimalkan kinerjanya. LIPI membuat sebuah inovasi community policing mengenai masalah ini.
"Tentu semua cara dan inovasi perlu infrastruktur termasuk anggaran dan reward. Dengan demikian, baik fungsi preemptif maupun preventif dapat terlaksana dengan optimal dan bermanfaat dalam jangka panjang bagi masyarakat," pungkas dia.
Jakarta: Peneliti politik nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sarah Nuraini Siregar, mengatakan ada ketimpangan dalam kerja Polri. Korps Bhayangkara dianggap lebih memilih menindak dibanding mencegah.
"Fungsi optimal yang menjadi tanggung jawab Polri itu menjalankan fungsi preemptifnya (pembinaan) dan preventif (pencegahan), yaitu melakukan pendekatan kepada masyarakat," kata Sarah di Kantor LIPI, Jakarta Selatan, Kamis 4 Juli 2019.
Menurut dia, dalam praktiknya, dua fungsi itu belum berjalan baik. Bahkan, pandangan publik banyak memberikan kritik dan evaluasi terhadap fungsi represif Polri yang dominan.
"Ketimbang dua fungsi lainnya. Fungsi represif ini yang kemudian menimbulkan masalah kekerasan dan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) oleh Polri," jelas Sarah.
Padahal, kata Sarah, penerapan fungsi preemptif dan preventif ini sebetulnya dapat saling mengisi di lapangan. Pasalnya, bagaimanapun juga, sulit bagi polisi untuk berperan optimal.
Baca: Impunitas Aparat Kepolisian Disebut Masih Terjadi
"Selama ini ujung dari fungsi preemptif adalah terciptanya kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum. Padahal dalam fungsi permbinaan ini juga terdapat peluang agar masyarakat turut berpartisipasi dalam mencegah terjadinya potensi kejahatan di lingkungan sekitar," ungkap dia.
Selanjutnya, LIPI memberi saran agar Polri dapat mengoptimalkan kinerjanya. LIPI membuat sebuah inovasi
community policing mengenai masalah ini.
"Tentu semua cara dan inovasi perlu infrastruktur termasuk anggaran dan
reward. Dengan demikian, baik fungsi preemptif maupun preventif dapat terlaksana dengan optimal dan bermanfaat dalam jangka panjang bagi masyarakat," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)
