medcom.id, Jakarta: Direktur Utama PT Intim Kara, Budi Liem mengaku diminta membuat rekening oleh Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary. Rekening digunakan Amran untuk menerima uang dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.
Dalam keterangannya sebagai saksi kasus proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk terdakwa Abdul Khoir, Budi mengaku perintah itu diterima saat Amran masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Maluku Utara.
"Buka rekening pakai uang dari Amran. Setelah beberapa lama saya buka, kemudian saya antar buku tabungan dan ATM ke pak Amran," kata Budi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (25/4/2016).
Budi juga mengetahui adanya transaksi dari Abdul Khoir ke rekening tersebut. Ada dua transaksi yang diketahui oleh Budi. Transaksi pertama dikatakan Budi, berupa transfer Rp250 juta. Sementara, transfer kedua berjumlah Rp25 juta.
"Tapi saya baru tahu saat diperiksa penyidik KPK. Saat itu ditunjukkan bukti transfernya," lanjut Budi.
Namun Budi mengaku sama sekali tidak pernah menyentuh duit-duit di rekening tersebut. Pasalnya, setelah dibuka menggunakan namanya atas perintah Amran, rekening itu langsung diserahkan kepada Amran.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum mendakwa Abdul Khoir dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Jaksa menyebut suap kepada Damayanti, beberapa anggota Komisi V, dan Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary sudah beberapa kali.
Abdul memerintahkan anak buahnya, Erwantoro, menyiapkan uang USD328 ribu atau setara Rp3,2 miliar, lalu diserahkan ke Damayanti melalui Dessy Ariyati dan Julia Prasetyarini. Dessy dan Julia mendapat komisi SGD40 ribu dari Damayanti.
Desi dan Julia merupakan asisten Damayanti. Untuk memastikan proyek benar-benar dikuasai, Abdul kembali menyuap Damayanti melalui Dessy Rp1 miliar dengan uang pecahan dolar Amerika Serikat.
Damayanti kemudian meminta Julia menukarkan uang suap kedua itu dengan pecahan rupiah.
Dari uang tersebut Damayanti memberikan Rp300 juta kepada Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan mantan calon kepala daerah Kendal Widya Kandi Susanti dan Mohamad Hilmi Rp300 juta. Sisa Rp400 juta digunakan Damayanti, sedangkan Rp200 juta dibagikan sama rata ke Dessy dan Julia.
Secara berturut-turut, Abdul menyuap anggota Komisi V lainnya dan Amran HI Mustary dengan jumlah seluruhnya Rp21,8 miliar, SGD1,6 juta, dan USD72,7 ribu untuk meloloskan proyek tersebut.
Abdul meminjam uang kepada Aseng sejumlah Rp1,5 miliar dan Hong Arta John Alfred sebesar Rp1 miliar untuk menutupi kekurangan uang suap agar proyek dari program aspirasi Damayanti di Maluku jatuh ke tangan Abdul Khoir.
medcom.id, Jakarta: Direktur Utama PT Intim Kara, Budi Liem mengaku diminta membuat rekening oleh Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary. Rekening digunakan Amran untuk menerima uang dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.
Dalam keterangannya sebagai saksi kasus proyek jalan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk terdakwa Abdul Khoir, Budi mengaku perintah itu diterima saat Amran masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Maluku Utara.
"Buka rekening pakai uang dari Amran. Setelah beberapa lama saya buka, kemudian saya antar buku tabungan dan ATM ke pak Amran," kata Budi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (25/4/2016).
Budi juga mengetahui adanya transaksi dari Abdul Khoir ke rekening tersebut. Ada dua transaksi yang diketahui oleh Budi. Transaksi pertama dikatakan Budi, berupa transfer Rp250 juta. Sementara, transfer kedua berjumlah Rp25 juta.
"Tapi saya baru tahu saat diperiksa penyidik KPK. Saat itu ditunjukkan bukti transfernya," lanjut Budi.
Namun Budi mengaku sama sekali tidak pernah menyentuh duit-duit di rekening tersebut. Pasalnya, setelah dibuka menggunakan namanya atas perintah Amran, rekening itu langsung diserahkan kepada Amran.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum mendakwa Abdul Khoir dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Jaksa menyebut suap kepada Damayanti, beberapa anggota Komisi V, dan Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary sudah beberapa kali.
Abdul memerintahkan anak buahnya, Erwantoro, menyiapkan uang USD328 ribu atau setara Rp3,2 miliar, lalu diserahkan ke Damayanti melalui Dessy Ariyati dan Julia Prasetyarini. Dessy dan Julia mendapat komisi SGD40 ribu dari Damayanti.
Desi dan Julia merupakan asisten Damayanti. Untuk memastikan proyek benar-benar dikuasai, Abdul kembali menyuap Damayanti melalui Dessy Rp1 miliar dengan uang pecahan dolar Amerika Serikat.
Damayanti kemudian meminta Julia menukarkan uang suap kedua itu dengan pecahan rupiah.
Dari uang tersebut Damayanti memberikan Rp300 juta kepada Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan mantan calon kepala daerah Kendal Widya Kandi Susanti dan Mohamad Hilmi Rp300 juta. Sisa Rp400 juta digunakan Damayanti, sedangkan Rp200 juta dibagikan sama rata ke Dessy dan Julia.
Secara berturut-turut, Abdul menyuap anggota Komisi V lainnya dan Amran HI Mustary dengan jumlah seluruhnya Rp21,8 miliar, SGD1,6 juta, dan USD72,7 ribu untuk meloloskan proyek tersebut.
Abdul meminjam uang kepada Aseng sejumlah Rp1,5 miliar dan Hong Arta John Alfred sebesar Rp1 miliar untuk menutupi kekurangan uang suap agar proyek dari program aspirasi Damayanti di Maluku jatuh ke tangan Abdul Khoir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)