Ketua Komnas Perempuan Azriana di Kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/8/2016). Foto: Metrotvnews.com/ Wanda Indana.
Ketua Komnas Perempuan Azriana di Kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/8/2016). Foto: Metrotvnews.com/ Wanda Indana.

Komnas Perempuan Temukan 421 Kebijakan Diskriminatif

Wanda Indana • 18 Agustus 2016 20:17
medcom.id, Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan telah mendokumentasikan kebijakan terbaru yang bersifat diskriminatif maupun kondusif. Komnas Perempuan mencatat, sejak 2007 hingga 2016, ada 421 kebijakan diskriminatif tersebar di 34 provinsi di Indonesia.
 
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan, kebijakan diskriminatif mayoritas dituangkan dalam bentuk Peratutan Daerah (Perda). Menurut dia, kebijakan diskriminatif melanggar konstitusi dan harus dibatalkan.
 
"Kami menyayangkan pemerintah dan pemerintah daerah yang seharusnya tegak berdiri di atas konstitusi, tetapi terlibat dalam tindakan inkonsistensional. Bahkan meligitimasi tindakan inkonsistensional melalui kebijakan," kata Azriana dalam konferensi persnya di Kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/8/2016).

Temuan Komnas Perempuan, kebijakan diskriminatif terdapat dalam pengaturan ketertiban umum. Menurut Azriana, tidak adanya batasan yang jelas mengenai ruang lingkup ketertiban umum, menyebabkan setiap daerah memiliki definisinya sendiri tentang ketertiban.
 
Ketertiban umum dipahami sejak dari aturan lalu lintas, kegiatan usaha, administrasi kependudukan, pornografi, sampai dengan penyelenggaraan ibadah. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah daerah bisa mengkriminalkan tindakan masyarakat yang melanggar ketertiban umum.
 
Namun, menurut Azriana, pemerintah daerah justru mengeluarkan ketertiban umum hingga melanggar hak konstitusi masyarakat. Seperti pembatasan jam kerja pada perempuan, kegiatan berkumpul, membatasi hak kelompok minoritas dan sebagainya.
 
"Pemerintah daerah masih gemar mengeluarkan kebijakan yang mengutamakan simbolisasi agama, sehingga ada kebijakan yang secara langsung membatasi dan mengabaikan pemenuhan hak-hak konstitusional warga," jelas Azriana.
 
Azriana mencontohkan, peraturan daerah di Sumatera Barat yang melarang pekerja seni seperti orkes tunggal bekerja di atas pukul 21.00 WIB. Qanun Provinsi Aceh No. 9 tahun 2015 yang melarang kelompok waria bekerja di salon. Intruksi Bupati Bireuen No. 1/INSTR/2016 yang melarang pekerja wanita bekerja di cafe di atas pukul 21.00 WIB.
 
"Pembatasan jam kerja akan berdampak pada kesmiskinan pada jangka panjang. Misalnya di Aceh, jam kerja perempuan dibatasi sampai pukul empat sore, padahal pedagang sirih di depan Masjid Raya mulai bekerjanya saat malam hari, kalau dibatasi mereka tidak bisa dapat uang, bagaimana bisa bertahan hidup," ungkap Azriana. 
 
Karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera mengambil langkah konkret untuk memastikan terpenuhinya hak-hak konstitusi bagi warga negara.
 
Komnas Perempuan juga meminta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjalankan secara sungguh-sungguh mandat UU Nom 23 Tahun 2014 tentang mekanisme pembatalan perundang-undnagan dan kepada pemerintah daerah untuk melakukan perbaikann pada kebijakan yang mengandung diskriminasi.
 
"Negara perlu menyadari keruntuhan bangsa dimulai dari runtuhnya rasa keadilan yang seharusnya diberikan bagi seluruh warga negara, sebagaimana yang telah dijamin dalam kontitusi," pungkas Azriana.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan