medcom.id, Jakarta: Auditor Utama Keuangan Negara III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri didakwa menerima gratifikasi berupa uang Rp3,5 miliar. Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, Rochmadi menjabat sebagai Auditor Utama Keuangan Negara III sejak 11 Maret 2014 hingga 2017.
Selama periode itu, ia berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada bidang lembaga negara, antara lain; kesejahteraan rakyat, kesekretariatan negara, aparatur negara, serta riset dan teknologi.
"Selama kurun waktu tahun 2014 sampai 2015, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya terdakwa menerima gratifikasi berupa uang," kata Jaksa Ali saat membacakan surat dakwaan terhadap Rochmadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu 18 Oktober 2017.
Jaksa menjelaskan, setelah menerima gratifikasi Rp3,5 miliar, Rochmadi tidak pernah melapor ke KPK. Perbuatan Rochmadi menerima gratifikasi harus dianggap suap, karena berhubungan dengan jabatannya.
Rochmadi juga dinilai melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas harta senilai Rp3,5 miliar dari hasil gratifikasi tersebut. Ia diduga telah menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, dan menukar dengan mata uang atau surat berharga atas kekayaannya itu untuk membeli aset berupa sebidang tanah.
"Terdakwa mengetahui uang yang digunakan untuk membelanjakan sebidang tanah bertujuan untuk menyamarkan asal usul harta kekayaannya," ujar jaksa Zaenal Abidin.
Uang itu dibelanjakan untuk sebidang tanah kavling seluas 329 meter persegi di Kebayoran Essence KE/1-15, Bintaro, Tangerang dari PT Jaya Real Property dalam kurun waktu 2014. Ia membayarkan tanah itu dengan cara mencicil sebanyak lima kali.
"Kemudian pada 2016 terdakwa membangun rumah tempat tinggal di atas tanah tersebut dengan biaya sekitar Rp1,1 miliar," ucap jaksa.
Jaksa menyatakan, harta kekayaan Rp3,5 miliar yang digunakan membeli sebidang tanah tidak sebanding dengan penghasilan dan harta kekayaan Rochmadi. Sesuai Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang terakhir dilaporkan, harta kekayaannya sebelum menjabat sebagai auditor BPK Rp2,4 miliar.
Rochmadi juga didakwa melakukan pencucian uang dengan menerima satu unit mobil Honda Odyssey yang berasal dari auditor BPK Ali Sadli. Jaksa mengatakan, mobil tersebut merupakan permintaan Rochmadi menggunakan identitas orang lain bernama Andhika Ariyanto.
Mobil kemudian dibayarkan oleh Ali Sadli dengan transfer rekening secara bertahap sebesar Rp700 juta. "Terdakwa mengetahui bahwa penerimaan satu unit mobil berasal dari asal usul perolehan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sah," tutur jaksa.
Atas perbuatannya di kasus dugaan gratifikasi, Rochmadi didakwa melanggar Pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus dugaan pencucian uang, Rochmadi didakwa melanggar pasal 3 dan pasal 5 UU nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
medcom.id, Jakarta: Auditor Utama Keuangan Negara III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri didakwa menerima gratifikasi berupa uang Rp3,5 miliar. Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, Rochmadi menjabat sebagai Auditor Utama Keuangan Negara III sejak 11 Maret 2014 hingga 2017.
Selama periode itu, ia berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pada bidang lembaga negara, antara lain; kesejahteraan rakyat, kesekretariatan negara, aparatur negara, serta riset dan teknologi.
"Selama kurun waktu tahun 2014 sampai 2015, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya terdakwa menerima gratifikasi berupa uang," kata Jaksa Ali saat membacakan surat dakwaan terhadap Rochmadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu 18 Oktober 2017.
Jaksa menjelaskan, setelah menerima gratifikasi Rp3,5 miliar, Rochmadi tidak pernah melapor ke KPK. Perbuatan Rochmadi menerima gratifikasi harus dianggap suap, karena berhubungan dengan jabatannya.
Rochmadi juga dinilai melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas harta senilai Rp3,5 miliar dari hasil gratifikasi tersebut. Ia diduga telah menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, dan menukar dengan mata uang atau surat berharga atas kekayaannya itu untuk membeli aset berupa sebidang tanah.
"Terdakwa mengetahui uang yang digunakan untuk membelanjakan sebidang tanah bertujuan untuk menyamarkan asal usul harta kekayaannya," ujar jaksa Zaenal Abidin.
Uang itu dibelanjakan untuk sebidang tanah kavling seluas 329 meter persegi di Kebayoran Essence KE/1-15, Bintaro, Tangerang dari PT Jaya Real Property dalam kurun waktu 2014. Ia membayarkan tanah itu dengan cara mencicil sebanyak lima kali.
"Kemudian pada 2016 terdakwa membangun rumah tempat tinggal di atas tanah tersebut dengan biaya sekitar Rp1,1 miliar," ucap jaksa.
Jaksa menyatakan, harta kekayaan Rp3,5 miliar yang digunakan membeli sebidang tanah tidak sebanding dengan penghasilan dan harta kekayaan Rochmadi. Sesuai Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang terakhir dilaporkan, harta kekayaannya sebelum menjabat sebagai auditor BPK Rp2,4 miliar.
Rochmadi juga didakwa melakukan pencucian uang dengan menerima satu unit mobil Honda Odyssey yang berasal dari auditor BPK Ali Sadli. Jaksa mengatakan, mobil tersebut merupakan permintaan Rochmadi menggunakan identitas orang lain bernama Andhika Ariyanto.
Mobil kemudian dibayarkan oleh Ali Sadli dengan transfer rekening secara bertahap sebesar Rp700 juta. "Terdakwa mengetahui bahwa penerimaan satu unit mobil berasal dari asal usul perolehan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sah," tutur jaksa.
Atas perbuatannya di kasus dugaan gratifikasi, Rochmadi didakwa melanggar Pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus dugaan pencucian uang, Rochmadi didakwa melanggar pasal 3 dan pasal 5 UU nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)