“Makar adalah perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah,” KBBI.
medcom.id, Jakarta: Makar belakangan menjadi pembahasan hangat. Di Indonesia, isu makar mulai benar-benar muncul ketika demonstrasi kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama mencuat.
Desas-desus yang beredar, ada pihak tertentu yang ingin menumpang aksi bela agama dengan agenda politik itu. Tapi, bukti sepertinya belum terkumpul dan aparat belum mau terlalu agresif merespons isu ini, pada saat itu.
Aksi Bela Islam berlanjut dan mencapai puncaknya pada 2 Desember. Agenda makar oleh segelintir orang ‘kuat’ baunya semakin merebak. Kemungkinan mereka menumpangi aksi bela agama semakin terlihat.
Polri bertindak cepat. Sebelas orang bahkan dicokok dan menjalani pemeriksaan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, atas dugaan makar.
Tersangka kasus dugaan makar, Rachmawati Soekarnoputri (kanan) bersama Kuasa Hukumnya, Yusril Ihza Mahendra.MI/Adam Dwi
Putri Proklamator Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri menjadi salah satu yang ditangkap, Jumat 2 Desember dini hari. Ia dan rekan-rekannya diduga akan menduduki DPR/MPR dan memaksa wakil rakyat menggelar sidang istimewa. Tujuannya, menggulingkan pemerintah yang sah, di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo.
Penangkapan dilakukan beberapa jam sebelum Aksi 212 digelar di kawasan Monas, Jakarta Pusat. Polisi mencegah terduga makar mendompleng aksi superdamai yang sudah kali ketiga dilaksanakan.
Sri Bintang Pamungkas, Kivlan Zein, Ahmad Dhani, Adityawarman Thaha, Firza Husein, Eko, Alvin Indra, dan Ratna Sarumpaet ikut dicokok dalam kasus ini. Ada pula Jamran dan Rizal Kobar yang ikut diamankan. Mereka semua dicokok atas dugaan pelanggaran berbeda, yakni dugaan makar, penghinaan terhadap penguasa, dan pelanggaran UU Informasi dan Teknologi (ITE).
Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebenarnya sudah beberapa kali memberi peringatan tidak langsung. Melalui Karo Penmas Polri Brigjen (saat itu masih berpangkat Kombes) Rikwanto, menyatakan pihaknya sedang mengkaji indikasi makar mendompleng Aksi 212. Ia bahkan menegaskan pihak-pihak yang berniat makar tak perlu membawa-bawa nama organisasi Islam untuk memuluskan niat.
“Jangan mendompleng yang tidak perlu. Kalau memang mau unjuk rasa, nyatakan siapa kami kemudian mau apa,” tegas Rikwanto di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, 22 November.
Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan (kanan) didampingi Pangdam Jaya/Jayakarta Mayjen TNI Teddy Lhaksmana (kiri) menunjukkan foto proses penangkapan sejumlah pelaku terkait dugaan upaya penggulingan kekuasaan di Jakarta, Selasa (6/12).ANT/M Agung Rajasa
Foto rapat yang diduga merencanakan makar juga telah lama beredar. Tokoh-tokoh yang diciduk memang tak jauh dari mereka yang wajahnya terpampang dalam gambar tersebut.
Pro kontra mulai bermunculan pascapenangkapan. Pengacara senior Yusril Ihza Mahendra kemudian memutuskan menjadi pendamping hukum mereka yang diduga makar. Penolakan maupun pembelaan digelontorkan. Hasilnya, beberapa diperbolehkan pulang atas pertimbangan subjektivitas penyidik. Sementara Sri Bintang Pamungkas, Jamran, dan Rizal Kobar ditahan.
Sri ditahan atas dugaan penghasutan, sedangkan Jamran dan Rizal dianggap melanggar UU ITE. Tak lama, Hatta Taliwang pun dijerat. Namun, ia tak terkena pasal makar, melainkan pelanggaran UU ITE.
Beberapa saksi juga diperiksa dalam pengembangan kasus Sri. Ahmad Dani, Buni Yani, hingga Presiden KSPI Said Iqbal dimintai keterangan.
Mantan Kepala Staf Kostrad ABRI Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein meninggalkan gedung Mako Brimob Kelapa Dua usai menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan makar di Depok, Jawa Barat, Sabtu (3/12) dinihari.MI/Indrianto Eko Suwarso
Dilema Pasal Makar
Tapi, dilema kemudian muncul. Apa benar kumpul-kumpul para tokoh yang diduga merencanakan makar bisa dipidana? Makar diketahui dari sepucuk surat Sri Bintang dan sebuah video. Pertanyaannya, apakah ini cukup untuk mengindikasikan makar?
Ahli hukum Chudry Sitompul memandang, Indonesia belum memiliki definisi pasti soal makar. Apabila dikatakan delik formil, yang kemudian dipermasalahkan adalah tindakan, bukan akibat perbuatan.
Namun, makar tak pernah dijelaskan sebagai tindakan seperti apa. “Apakah membunuh atau ngomong, atau pakai toa, atau pakai apa itu belum disebutkan,” kata Chudry dalam sebuah wawancara di Metro TV, beberapa waktu lalu.
Kondisi ini akan sama dengan pasal pencurian yang juga tak dijelaskan di KUHP. Apabila barang telah dikuasai pencuri, itu dianggap pencurian. Sebatas itu.
Pasal 107 KUHP muncul sebagai penjerat. Hukuman pun tergambar melalui isi pasal tersebut.
Pasal 107
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Menurut Chudry, Pasal 107 ditafsirkan oleh putusan pengadilan. Pada putusan pengadilan era Presiden Soekarno maupun Soeharto, pasal tersebut ditujukan kepada tindakan pemberontakan dengan kekuatan senjata.
“Karena itu, kalau misalnya sudah ada rapat-rapat, diskusi-diskusi, katakan lah begitu, pada hari ini sudah mau menduduki, tapi apakah itu sudah masuk dalam kategori fisik?” terang dia.
Dalam bahasa Belanda, makar disebut anslaag yang berarti penyerangan. Di Negeri Kincir Angin, penyerangan selalu diartikan dengan adanya organisasi teroris.
Dalam konteks di Indonesia, tegas Chudry, apabila kasus ini dilanjutkan ke pengadilan, jaksa penuntut umum lah yang nantinya memformulasikan makar. Apalagi, selama ini Polri tak pernah mendefinisikan kualifikasi makar.
“Jadi nanti JPU ini tentu akan dibantah dengan penasihat hukum (terdakwa). Nanti kita lihat,” ucap dia.
Penjelasan kemudian bergeser pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di era pemerintahan mereka, Presiden tak mengambil tindakan terkait makar. Meski ada desakan, dua presiden tersebut dinilai tak mempersoalkan karena memandang itu dalam konteks demokrasi.
“Tapi kalau memang misalnya pemerintahan sekarang dalam suasana ini kemudian dianggap kondisi yang terkahir ini (adalah makar), ya kita lihat saja perkembangannya,” ucap dia.
Ia menegaskan, kebijakan pemerintah dalam konteks hukum akan memengaruhi negara yang berdiri dengan embel-embel demokrasi ini. Takutnya, kata dia, pemerintah dianggap represif karena kasus ini.
“Padahal kan UUD 1945 sudah memberikan kewenangan dan kebebasan berpendapat,” jelas dia.
Indonesia pun telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). ICCPR diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
Jangan Kebablasan
Analisa Chudry langsung dijawab Kabag Penum Mabes Polri Kombes Martinus Sitompul. Ia menegaskan, Indonesia sudah bersepakat memiliki sistem demokrasi. Penyampaian pendapat menjadi bagian hak asasi manusia. Tapi, penyampaian pendapat umum itu harus memiliki koridor
“Koridornya adalah hukum,” tegas dia.
Demokrasi, jelas dia, di samping menyampaikan pendapat di muka umum, juga mengenal supremasi hukum. Harus ada batasan. Apabila tidak, hukum di Indonesia bisa dikatakan hanya sesuatu yang tertera. Hukum akan mati.
“Kalau pun memang mau di-judicial review tentu sudah dilakukan sebelum-sebelumnya. Tetapi itu ada hukum yang membatasi orang untuk menyampaikan pendapat umumnya yang melanggar hukum. Kalau kritik untuk kebijakan-kebijakan, tentu kita tidak akan represif di situ,” terang dia.
Ia mengklaim, polisi sama sekali tak pernah membubarkan orang-orang berkumpul maupun berdiskusi. Tindakan mereka selalu memiliki landasan jelas.
Hal yang terjadi belakangan, kata dia, memang sudah di luar batas. Adanya wacana menurunkan Presiden melalui pemaksaan terhadap DPR untuk menggelar sidang istimewa tak bisa dianggap enteng.
“Ini kan, dengan kekuatan massa yang ada yang berhasil digerakkan dari masa yang melakukan kegiatan ibadah. Perencanaan seperti itu kan sudah di luar dari koridor hukum yang ada. Sehingga itu lah yang dicegah supaya menjaga keselamatan bangsa kita ini,” ucap dia.
Kasus makar hingga saat ini masih ditangani Polri. Mereka yang ditahan masih terus diperiksa, begitu pula saksi-saksi.
“Makar adalah perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah,” KBBI.
medcom.id, Jakarta: Makar belakangan menjadi pembahasan hangat. Di Indonesia, isu makar mulai benar-benar muncul ketika demonstrasi kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama mencuat.
Desas-desus yang beredar, ada pihak tertentu yang ingin menumpang aksi bela agama dengan agenda politik itu. Tapi, bukti sepertinya belum terkumpul dan aparat belum mau terlalu agresif merespons isu ini, pada saat itu.
Aksi Bela Islam berlanjut dan mencapai puncaknya pada 2 Desember. Agenda makar oleh segelintir orang ‘kuat’ baunya semakin merebak. Kemungkinan mereka menumpangi aksi bela agama semakin terlihat.
Polri bertindak cepat. Sebelas orang bahkan dicokok dan menjalani pemeriksaan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, atas dugaan makar.
Tersangka kasus dugaan makar, Rachmawati Soekarnoputri (kanan) bersama Kuasa Hukumnya, Yusril Ihza Mahendra.MI/Adam Dwi
Putri Proklamator Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri menjadi salah satu yang ditangkap, Jumat 2 Desember dini hari. Ia dan rekan-rekannya diduga akan menduduki DPR/MPR dan memaksa wakil rakyat menggelar sidang istimewa. Tujuannya, menggulingkan pemerintah yang sah, di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo.
Penangkapan dilakukan beberapa jam sebelum Aksi 212 digelar di kawasan Monas, Jakarta Pusat. Polisi mencegah terduga makar mendompleng aksi superdamai yang sudah kali ketiga dilaksanakan.
Sri Bintang Pamungkas, Kivlan Zein, Ahmad Dhani, Adityawarman Thaha, Firza Husein, Eko, Alvin Indra, dan Ratna Sarumpaet ikut dicokok dalam kasus ini. Ada pula Jamran dan Rizal Kobar yang ikut diamankan. Mereka semua dicokok atas dugaan pelanggaran berbeda, yakni dugaan makar, penghinaan terhadap penguasa, dan pelanggaran UU Informasi dan Teknologi (ITE).
Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebenarnya sudah beberapa kali memberi peringatan tidak langsung. Melalui Karo Penmas Polri Brigjen (saat itu masih berpangkat Kombes) Rikwanto, menyatakan pihaknya sedang mengkaji indikasi makar mendompleng Aksi 212. Ia bahkan menegaskan pihak-pihak yang berniat makar tak perlu membawa-bawa nama organisasi Islam untuk memuluskan niat.
“Jangan mendompleng yang tidak perlu. Kalau memang mau unjuk rasa, nyatakan siapa kami kemudian mau apa,” tegas Rikwanto di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, 22 November.
Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan (kanan) didampingi Pangdam Jaya/Jayakarta Mayjen TNI Teddy Lhaksmana (kiri) menunjukkan foto proses penangkapan sejumlah pelaku terkait dugaan upaya penggulingan kekuasaan di Jakarta, Selasa (6/12).ANT/M Agung Rajasa
Foto rapat yang diduga merencanakan makar juga telah lama beredar. Tokoh-tokoh yang diciduk memang tak jauh dari mereka yang wajahnya terpampang dalam gambar tersebut.
Pro kontra mulai bermunculan pascapenangkapan. Pengacara senior Yusril Ihza Mahendra kemudian memutuskan menjadi pendamping hukum mereka yang diduga makar. Penolakan maupun pembelaan digelontorkan. Hasilnya, beberapa diperbolehkan pulang atas pertimbangan subjektivitas penyidik. Sementara Sri Bintang Pamungkas, Jamran, dan Rizal Kobar ditahan.
Sri ditahan atas dugaan penghasutan, sedangkan Jamran dan Rizal dianggap melanggar UU ITE. Tak lama, Hatta Taliwang pun dijerat. Namun, ia tak terkena pasal makar, melainkan pelanggaran UU ITE.
Beberapa saksi juga diperiksa dalam pengembangan kasus Sri. Ahmad Dani, Buni Yani, hingga Presiden KSPI Said Iqbal dimintai keterangan.
Mantan Kepala Staf Kostrad ABRI Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein meninggalkan gedung Mako Brimob Kelapa Dua usai menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan makar di Depok, Jawa Barat, Sabtu (3/12) dinihari.MI/Indrianto Eko Suwarso
Dilema Pasal Makar
Tapi, dilema kemudian muncul. Apa benar kumpul-kumpul para tokoh yang diduga merencanakan makar bisa dipidana?
Makar diketahui dari sepucuk surat Sri Bintang dan sebuah video. Pertanyaannya, apakah ini cukup untuk mengindikasikan makar?
Ahli hukum Chudry Sitompul memandang, Indonesia belum memiliki definisi pasti soal makar. Apabila dikatakan delik formil, yang kemudian dipermasalahkan adalah tindakan, bukan akibat perbuatan.
Namun, makar tak pernah dijelaskan sebagai tindakan seperti apa. “Apakah membunuh atau ngomong, atau pakai toa, atau pakai apa itu belum disebutkan,” kata Chudry dalam sebuah wawancara di Metro TV, beberapa waktu lalu.
Kondisi ini akan sama dengan pasal pencurian yang juga tak dijelaskan di KUHP. Apabila barang telah dikuasai pencuri, itu dianggap pencurian. Sebatas itu.
Pasal 107 KUHP muncul sebagai penjerat. Hukuman pun tergambar melalui isi pasal tersebut.
Pasal 107
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Menurut Chudry, Pasal 107 ditafsirkan oleh putusan pengadilan. Pada putusan pengadilan era Presiden Soekarno maupun Soeharto, pasal tersebut ditujukan kepada tindakan pemberontakan dengan kekuatan senjata.
“Karena itu, kalau misalnya sudah ada rapat-rapat, diskusi-diskusi, katakan lah begitu, pada hari ini sudah mau menduduki, tapi apakah itu sudah masuk dalam kategori fisik?” terang dia.
Dalam bahasa Belanda, makar disebut anslaag yang berarti penyerangan. Di Negeri Kincir Angin, penyerangan selalu diartikan dengan adanya organisasi teroris.
Dalam konteks di Indonesia, tegas Chudry, apabila kasus ini dilanjutkan ke pengadilan, jaksa penuntut umum lah yang nantinya memformulasikan makar. Apalagi, selama ini Polri tak pernah mendefinisikan kualifikasi makar.
“Jadi nanti JPU ini tentu akan dibantah dengan penasihat hukum (terdakwa). Nanti kita lihat,” ucap dia.
Penjelasan kemudian bergeser pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di era pemerintahan mereka, Presiden tak mengambil tindakan terkait makar. Meski ada desakan, dua presiden tersebut dinilai tak mempersoalkan karena memandang itu dalam konteks demokrasi.
“Tapi kalau memang misalnya pemerintahan sekarang dalam suasana ini kemudian dianggap kondisi yang terkahir ini (adalah makar), ya kita lihat saja perkembangannya,” ucap dia.
Ia menegaskan, kebijakan pemerintah dalam konteks hukum akan memengaruhi negara yang berdiri dengan embel-embel demokrasi ini. Takutnya, kata dia, pemerintah dianggap represif karena kasus ini.
“Padahal kan UUD 1945 sudah memberikan kewenangan dan kebebasan berpendapat,” jelas dia.
Indonesia pun telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). ICCPR diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
Jangan Kebablasan
Analisa Chudry langsung dijawab Kabag Penum Mabes Polri Kombes Martinus Sitompul. Ia menegaskan, Indonesia sudah bersepakat memiliki sistem demokrasi. Penyampaian pendapat menjadi bagian hak asasi manusia. Tapi, penyampaian pendapat umum itu harus memiliki koridor
“Koridornya adalah hukum,” tegas dia.
Demokrasi, jelas dia, di samping menyampaikan pendapat di muka umum, juga mengenal supremasi hukum. Harus ada batasan. Apabila tidak, hukum di Indonesia bisa dikatakan hanya sesuatu yang tertera. Hukum akan mati.
“Kalau pun memang mau di-judicial review tentu sudah dilakukan sebelum-sebelumnya. Tetapi itu ada hukum yang membatasi orang untuk menyampaikan pendapat umumnya yang melanggar hukum. Kalau kritik untuk kebijakan-kebijakan, tentu kita tidak akan represif di situ,” terang dia.
Ia mengklaim, polisi sama sekali tak pernah membubarkan orang-orang berkumpul maupun berdiskusi. Tindakan mereka selalu memiliki landasan jelas.
Hal yang terjadi belakangan, kata dia, memang sudah di luar batas. Adanya wacana menurunkan Presiden melalui pemaksaan terhadap DPR untuk menggelar sidang istimewa tak bisa dianggap enteng.
“Ini kan, dengan kekuatan massa yang ada yang berhasil digerakkan dari masa yang melakukan kegiatan ibadah. Perencanaan seperti itu kan sudah di luar dari koridor hukum yang ada. Sehingga itu lah yang dicegah supaya menjaga keselamatan bangsa kita ini,” ucap dia.
Kasus makar hingga saat ini masih ditangani Polri. Mereka yang ditahan masih terus diperiksa, begitu pula saksi-saksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ICH)