Ketua PPATK Muhammad Yusuf (kedua dari kiri) dan Komisioner Komnas HAM M. Imdadun Rahmat (kedua dari kanan). Foto: Dok/Istimewa
Ketua PPATK Muhammad Yusuf (kedua dari kiri) dan Komisioner Komnas HAM M. Imdadun Rahmat (kedua dari kanan). Foto: Dok/Istimewa

Membedah Panama Papers Agar tak Melanggar HAM

Misbahol Munir • 17 Mei 2016 20:05
medcom.id, Jakarta:  Dokumen Panama Papers semakin menyebar luas setelah dipublikasikan secara online di laman offshoreleaks.icij.org, 9 Mei 2016. Bocoran Panama Papers yang dikeluarkan International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) itu masih menyedot perhatian publik.
 
Maklum, ada sejumlah tokoh, mulai dari pebisnis, politikus hingga pejabat publik Indonesia yang menginvestasikan dana dalam berbagai skema dengan mendirikan perusahaan cangkang (offshore company) di negara suaka pajak (tax haven).  
 
Sebagian masyarakat awam memaknainya ini praktik melanggar hukum, baik berupa pengelakan pajak (tax evasion), penyembunyian hasil kejahatan, maupun pencucian uang. Sementara kalangan investor, pengusaha, pakar keuangan, atau ekonom memahami berbeda.

Dalam dunia investasi, pengelolaan keuangan dan sejenisnya ada yang namanya tax planning, tax avoidance dan sejenisnya. Hal-hal tersebut tidak serta merta ilegal atau melanggar hukum. Hal itu lazim dilakukan para investor atau mereka yang namanya muncul dalam Panama Papers tadi.
 
"Pembahasan di media arus utama berlangsung seru, tapi belum memberikan porsi yang memadai mengenai hal-hal mendasar mengenai praktik offshore fund. Mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak melanggar hukum, mana yang tergolong pelanggaran hukum, kenapa itu dilakukan, bagaimana caranya, dan siapa yang melakukan," ujar Direktur Eksekutif Eka Tjipta Foundation, Hasan Karman, Selasa (17/5/2016).
 
Pernyataan itu dilontarkan saat memoderatori temu wicara ETF Fellowships Gathering bertajuk 'Panama Papers: Pemahaman, Pemberitaan, dan Hak Asasi' di Sinar Mas Land Plaza Jakarta. Hadir Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Muhammad Yusuf dan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia M. Imdadun Rahmat sebagai pembicara.
 
Hasan mengatakan, pemberitaan yang kuat tanpa penjelasan memadai bisa membuat publik menduga-duga jika mereka yang namanya tercantum dalam Panama Papers bersalah. Setidaknya mereka punya niat tak baik.
 
Hal ini yang mendorong ETF mendiskusikan tema itu dengan melibatkan para penerima ETF Fellowship, beasiswa yang disalurkan bagi para profesional dari berbagai bidang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata 2 maupun strata 3. Sekitar 100 orang penerima beasiswa hadir hari itu.
 
Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan, jumlah nama yang disebut dalam Panama Papers, ICIJ Offshore Leaks dan sejenisnya, tidaklah sebanyak laporan transaksi keuangan mencurigakan yang diverifikasi lembaganya.
Yusuf menjelaskan, tahun 2015 saja jumlahnya mencapai lebih dari 56 ribu laporan. Dengan kata lain, pihaknya lebih mengkhawatirkan masih terdapatnya celah dalam skema bisnis akibat lemahnya pengawasan yang berpotensi digunakan untuk melakukan kejahatan.
 
Yusuf mengingatkan, tidak semua nama yang ada dalam bocoran serta merta bersalah. Dia menyitir riwayat Nabi Muhammad yang menyebut ketika melakukan sesuatu, jika nurani kita ragu dan merasa malu hal tersebut diketahui orang lain, itu pertanda hal itu buruk atau berdosa. Demikian pula sebaliknya.
 
Sementara Komisioner Komnas HAM M. Imdadun Rahmat menilai, peretasan data dalam Panama Papers tergolong pelanggaran privasi. "Karena dilakukan tanpa didasari undang-undang tertentu, bukan atas perintah pengadilan atau otoritas yang sah, dan tidak dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang," kata Imdad yang juga lulusan program ETF Fellowship.
 
Dampaknya, menurut Imdadun, adalah berkurangnya kemerdekaan, keleluasaan dan otonomi individu yang disebut namanya dalam bertransaksi ekonomi dengan pihak lain. Bahkan dapat merusak nama baik mereka yang secara hukum tidak melakukan pelanggaran, tetapi secara umum kadung dihakimi publik seolah bersalah. Sejauh mengikuti kaidah jurnalisme, dia menilai media yang memberitakan Panama Papers tetap terlindungi secara hukum.
 
"Yang dapat dilakukan negara adalah memverifikasi dan mengklarifikasi nama-nama yang disebut dalam Panama Papers dengan memisahkan antara yang melanggar hukum dan tidak melanggar. Kemudian menjelaskan kepada publik seputar status hukum offshore funding. Selain itu, negara juga wajib merehabilitasi mereka yang tidak melanggar hukum, tapi telanjur dihakimi publik," paparnya.
 
Muhammad Yusuf berharap, pemerintah memiliki pandangan yang selaras mengenai hal ini. Jika UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) menjadi solusinya, pemerintah harus menerapkannya dengan konsisten.
 
"Jangan sampai setelah nanti dana yang ada di luar negeri tadi dibawa kembali ke Indonesia, tapi belakangan orangnya malah diproses hukum misalnya," ujar Yusuf.
 
Di sisi lain, pihaknya menginginkan pemrosesan temuan lembaganya bisa dilakukan lebih progresif oleh aparat penegak hukum. Pasalnya proses yang lambat membuat manfaat yang hilang semakin masif, dan merugikan bangsa dan negara. Dalam perspektif hak asasi, ini juga pelanggaran.
 
Imdadun menyetujui pandangan ini dengan menyebut pada dasarnya memerangi korupsi adalah implementasi dari penegakan hak asasi manusia.
 
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum ETF, G. Sulistiyanto berharap pertemuan itu dapat membuka wawasan lebih luas bagi para alumni.
 
"Forum berkala ini kami gelar agar para penerima beasiswa yang kami harapkan mampu berperan sebagai agen perubahan dapat saling bersilaturahim, memperluas jaringan, sekaligus memperkaya wawasan atas beragam isu atau topik terkini dari sumber pertama, atau yang berkompeten," kata Sulistiyanto.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan