medcom.id, Jakarta: Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar mengatakan penentuan nama siapa yang bakal menjadi Kapolri memang hak prerogatif presiden. Namun jangan sampai Kapolri dipilih secara subjektif karena urusan politik.
Jika itu yang terjadi, akibatnya bisa fatal. Kapolri yang terpilih bisa jadi tak pro rakyat.
"Jadinya Kapolri malah pro presiden. Selain itu subjektivitas juga bisa menyebabkan calon-calon lain yang sebenarnya punya prestasi baik malah jadi dikesampingkan," ujar Bambang saat dihubungi Media Indonesia, Kamis (8/1/2015).
Secara terpisah, Asisten SDM Polri Irjen Pol Haka Astana mengatakan Polri melalui Dewan Pertimbangan Karir (DPK) biasanya akan memberi masukan nama dengan memperhatikan pertimbangan tertentu.
Menurutnya, DPK juga membuat pertimbangan berdasarkan UU tentang Polri. "Pertimbangannya memperhatikan jenjang kepangkatan atau siapa yang sudah bintang tiga. Lalu belum purnawirawan dan dilihat juga senioritas dan kompetensinya," jelas Haka.
Polisi aktif dengan pangkat Komjen atau bintang tiga saat ini ada sembilan orang. Mereka adalah Wakapolri Badrodin Haiti, Irwasum Dwi Priyatno, Kalemdikpol Budi Gunawan, Kabareskrim Suhardi Alius, Kabaharkam Putut Eko Bayuseno, dan Kabaintelkam Djoko Mukti Haryono.
Sementara di luar Polri atau di beberapa lembaga setingkat kementerian ialah Anang Iskandar yang merupakan Kepala Badan Narkotika Nasional, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Saud Usman Nasution, dan Boy Salamuddin yang masih menjabat sebagai Sekretaris Utama Lembaga Pertahanan Nasional.
Sementara jika melihat masa pensiun sesuai UU Polri yang menentukan angka 58 tahun, hanya Badrodin yang sangat mendekati batas tersebut. Lainnya, masih berjarak sekitar tiga tahun dari ketentuan UU Polri, seperti Dwi dan Budi.
Lalu, dari senioritas berdasarkan tahun pendidikan di Akpol, Saud dan Djoko lah yang paling senior karena mereka merupakan lulusan tahun 1981. Badrodin, Dwi, Anang, dan Boy lulusan Akpol 1982. Kemudian diikuti oleh Budi (1983), Putut (1984), dan Suhardi (1985).
medcom.id, Jakarta: Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar mengatakan penentuan nama siapa yang bakal menjadi Kapolri memang hak prerogatif presiden. Namun jangan sampai Kapolri dipilih secara subjektif karena urusan politik.
Jika itu yang terjadi, akibatnya bisa fatal. Kapolri yang terpilih bisa jadi tak pro rakyat.
"Jadinya Kapolri malah pro presiden. Selain itu subjektivitas juga bisa menyebabkan calon-calon lain yang sebenarnya punya prestasi baik malah jadi dikesampingkan," ujar Bambang saat dihubungi Media Indonesia, Kamis (8/1/2015).
Secara terpisah, Asisten SDM Polri Irjen Pol Haka Astana mengatakan Polri melalui Dewan Pertimbangan Karir (DPK) biasanya akan memberi masukan nama dengan memperhatikan pertimbangan tertentu.
Menurutnya, DPK juga membuat pertimbangan berdasarkan UU tentang Polri. "Pertimbangannya memperhatikan jenjang kepangkatan atau siapa yang sudah bintang tiga. Lalu belum purnawirawan dan dilihat juga senioritas dan kompetensinya," jelas Haka.
Polisi aktif dengan pangkat Komjen atau bintang tiga saat ini ada sembilan orang. Mereka adalah Wakapolri Badrodin Haiti, Irwasum Dwi Priyatno, Kalemdikpol Budi Gunawan, Kabareskrim Suhardi Alius, Kabaharkam Putut Eko Bayuseno, dan Kabaintelkam Djoko Mukti Haryono.
Sementara di luar Polri atau di beberapa lembaga setingkat kementerian ialah Anang Iskandar yang merupakan Kepala Badan Narkotika Nasional, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Saud Usman Nasution, dan Boy Salamuddin yang masih menjabat sebagai Sekretaris Utama Lembaga Pertahanan Nasional.
Sementara jika melihat masa pensiun sesuai UU Polri yang menentukan angka 58 tahun, hanya Badrodin yang sangat mendekati batas tersebut. Lainnya, masih berjarak sekitar tiga tahun dari ketentuan UU Polri, seperti Dwi dan Budi.
Lalu, dari senioritas berdasarkan tahun pendidikan di Akpol, Saud dan Djoko lah yang paling senior karena mereka merupakan lulusan tahun 1981. Badrodin, Dwi, Anang, dan Boy lulusan Akpol 1982. Kemudian diikuti oleh Budi (1983), Putut (1984), dan Suhardi (1985).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)