Jakarta: Anggota Tim Perumus revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Edward Omar Sharif Hiariej, mendorong RKUHP segera disahkan menjadi UU pada akhir September ini. Dia mempersilahkan kepada pihak yang tidak setuju untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), jika RKUHP sudah disahkan.
"Kita ketemu di sana (MK) untuk adu argumen akademik mengenai pasal-pasal yang tidak disetujui," ujar Edward saat ditemui di Yogyakarta, Minggu, 9 September 2019.
Tim perumus, kata dia, selama ini terus bekerja keras menyempurnakan pasal-pasal yang ada dalam RKUHP. Ia mengakui banyak yang mengkritik melalui media. Namun, kritik itu tanpa memperhatikan perkembangan RKUHP. "Bahkan kritikan itu banyak yang out of date (basi)," ketus dia.
Dia menegaskan RKUHP yang akan disahkan bukan sekadar revisi atas KUHP versi kolonial Belanda. "Bukan revisi, tetapi rekodifikasi. Membuat KUHP baru karena sejak pasca-Perang Dunia II, banyak hukum pidana khusus yang berada di luar KUHP," tegas guru besar Fakultas Hukum UGM itu.
Rekodifikasi ialah uyapa menarik hukum pidana khusus ke dalam KUHP. Rekodifikasi pada RKUHP ini, lanjut dia, disesuaikan dengan prinsip dasar Pancasila. "Karena itu, RUU KUHP ini memuat 770-an pasal," ujar dia.
RKUHP, kata dia, memiliki filosofi melindungi negara, masyarakat, dan individu. "Apa yang dilindungi dari individu? Tubuh, nyawa, jiwa, properti, harkat, dan martabatnya," jelas dia.
Pakar hukum pidana yang akrab disapa Eddy itu menjelaskan secara khusus mengenai perlindungan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dari penghinaan dan cacian. "Harus diingat, Presiden ialah simbol negara meski sudah ada equality before the law," jelas dia.
Dia mengatakan sangat ironis bila kepala negara asing yang berada di Indonesia harkat dan martabatnya mendapat perlindungan hukum, tetapi Presiden Indonesia tidak mendapat perlindungan. "Bagaimana jadinya, kalau Presiden kita di negeri sendiri dicaci, dihina, dan disamakan dengan isi kebun binatang," pungkas dia.
Finalisasi
Komisi III DPR terus melakukan finalisasi RKUHP berdasarkan kritik dari elemen masyarakat yang menilai masih adanya pasal karet. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu mengatakan Tim Panitia Kerja (Panja) RKUHP bersama pemerintah terus membahas pasal krusial.
"Termasuk usulan dan keberatan dari masyarakat terhadap beberapa pasal," kata Masinton.
Dia mengatakan Komisi III akan membuka opsi pembahasan RKUHP dimasukkan menjadi objek carry over. Artinya, pembahasan RKUHP dapat dilanjutkan oleh anggota DPR periode 2019-2024. "Hal itu dilakukan agar RKUHP keluar sebagai produk legislasi yang optimal," ujar dia.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem Taufiqulhadi menuturkan RKUHP tidak bisa dinilai secara sempurna. Menurut dia, UU sebagai produk legislasi menjadi lebih sempurna seiring berjalannya waktu.
"Kalau memang belum sempurna, rakyat Indonesia bisa memperbaikinya melalui proses judicial review ke MK," tandas dia.
Jakarta: Anggota Tim Perumus revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Edward Omar Sharif Hiariej, mendorong RKUHP segera disahkan menjadi UU pada akhir September ini. Dia mempersilahkan kepada pihak yang tidak setuju untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), jika RKUHP sudah disahkan.
"Kita ketemu di sana (MK) untuk adu argumen akademik mengenai pasal-pasal yang tidak disetujui," ujar Edward saat ditemui di Yogyakarta, Minggu, 9 September 2019.
Tim perumus, kata dia, selama ini terus bekerja keras menyempurnakan pasal-pasal yang ada dalam RKUHP. Ia mengakui banyak yang mengkritik melalui media. Namun, kritik itu tanpa memperhatikan perkembangan RKUHP. "Bahkan kritikan itu banyak yang
out of date (basi)," ketus dia.
Dia menegaskan RKUHP yang akan disahkan bukan sekadar revisi atas KUHP versi kolonial Belanda. "Bukan revisi, tetapi rekodifikasi. Membuat KUHP baru karena sejak pasca-Perang Dunia II, banyak hukum pidana khusus yang berada di luar KUHP," tegas guru besar Fakultas Hukum UGM itu.
Rekodifikasi ialah uyapa menarik hukum pidana khusus ke dalam KUHP. Rekodifikasi pada RKUHP ini, lanjut dia, disesuaikan dengan prinsip dasar Pancasila. "Karena itu, RUU KUHP ini memuat 770-an pasal," ujar dia.
RKUHP, kata dia, memiliki filosofi melindungi negara, masyarakat, dan individu. "Apa yang dilindungi dari individu? Tubuh, nyawa, jiwa, properti, harkat, dan martabatnya," jelas dia.
Pakar hukum pidana yang akrab disapa Eddy itu menjelaskan secara khusus mengenai perlindungan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dari penghinaan dan cacian. "Harus diingat, Presiden ialah simbol negara meski sudah ada
equality before the law," jelas dia.
Dia mengatakan sangat ironis bila kepala negara asing yang berada di Indonesia harkat dan martabatnya mendapat perlindungan hukum, tetapi Presiden Indonesia tidak mendapat perlindungan. "Bagaimana jadinya, kalau Presiden kita di negeri sendiri dicaci, dihina, dan disamakan dengan isi kebun binatang," pungkas dia.
Finalisasi
Komisi III DPR terus melakukan finalisasi RKUHP berdasarkan kritik dari elemen masyarakat yang menilai masih adanya pasal karet. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu mengatakan Tim Panitia Kerja (Panja) RKUHP bersama pemerintah terus membahas pasal krusial.
"Termasuk usulan dan keberatan dari masyarakat terhadap beberapa pasal," kata Masinton.
Dia mengatakan Komisi III akan membuka opsi pembahasan RKUHP dimasukkan menjadi objek carry over. Artinya, pembahasan RKUHP dapat dilanjutkan oleh anggota DPR periode 2019-2024. "Hal itu dilakukan agar RKUHP keluar sebagai produk legislasi yang optimal," ujar dia.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem Taufiqulhadi menuturkan RKUHP tidak bisa dinilai secara sempurna. Menurut dia, UU sebagai produk legislasi menjadi lebih sempurna seiring berjalannya waktu.
"Kalau memang belum sempurna, rakyat Indonesia bisa memperbaikinya melalui proses judicial review ke MK," tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)