medcom.id, Jakarta: Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo menyerahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus korupsi pengadaan satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla). TNI tidak akan ikut campur dalam menangani kasus tersebut.
Gatot menjelaskan, sebagai prajurit TNI harus patuh terhadap hukum yang berlaku. Apalagi, menurut Gatot, panglima tertinggi TNI adalah hukum.
"Semua prajurit TNI, termasuk saya, kalau punya kesalahan harus diperiksa, harus dihukum. Tidak ada pengecualian," kata Gatot di Mako Paspampres, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Maret 2017.
Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi menegaskan, sampai saat ini belum ada informasi adanya keterlibatan oknum TNI Angkatan Laut. Namun begitu, pihaknya bakal terus memonitor melalui Puspom TNI.
Ade memastikan jika ada oknum yang terlibat, pasti bakal diberikan sanksi tegas. Sampai saat ini pihaknya masih menunggu pemeriksaan dari KPK. "Itu kan pidana. Kalau pidana hukumannya kalau tidak penjara, ya pecat," ujar dia.
Beberapa nama pejabat Badan Keamaan Laut (Bakamla) disebut berperan dalam kasus korupsi monitoring satelite di lembaga tersebut. Pejabat Bakamla, Eko Susilo Hadi, yang kini menjadi tersangka dan tengah ditahan KPK menyatakan siap memembongkar semua fakta.
"Kita siap jadi justice collaborator. Semua yang diketahui, itu akan diungkap," kata pengacara Eko, Soesilo Aribowo, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 14 Maret 2017.
Kepala Bakamla Arie Soedewo meminta jatah 7,5 persen dari pengadaan monitoring satelite. Permintaan dilayangkan pada pemenang lelang, PT Melati Technofo Indonesia.
Hal ini terungkap dalam surat dakwaan Hardy Stefanus, anak buah Fahmi Darmawansyah. Fahmi adalah pemilik PT Technofo Indonesia.
Arie Soedewo menyampaikan jatah 15 persen dari nilai pengadaan, Bakamla mendapat jatah 7,5 persen. Dan akan diberikan lebih dulu 2 persen.
Dalam dakwaan disebutkan, Arie Soedewo meminta Eko Susilo Hadi menghubungi terdakwa dan Muhammad Adami Okta (anak buah Fahmi) untuk menyampaikan jika pemberian sebesar 2 persen diberikan kepada Eko Susilo Hadi.
Saat datang ke kantor Bakamla pada 9 November 2016, Adami mendapat permintaan mengenai bagian 7,5 persen dari Eko. Adami pun berjanji akan memberikan 2 persen lebih dulu.
Eko juga meminta bantuan operasional sebesar 10 ribu dolar AS dan 10 ribu euro. Fahmi kemudian memerintahkan untuk disiapkan dulu 2 persen dari Rp222,438 miliar yaitu Rp4,44 miliar dikurangi uang operasional untuk Eko sehingga menjadi Rp278,6 miliar. Dan sisa untuk Bakamla adalah sebesar Rp4,161 miliar.
medcom.id, Jakarta: Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo menyerahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus korupsi pengadaan satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla). TNI tidak akan ikut campur dalam menangani kasus tersebut.
Gatot menjelaskan, sebagai prajurit TNI harus patuh terhadap hukum yang berlaku. Apalagi, menurut Gatot, panglima tertinggi TNI adalah hukum.
"Semua prajurit TNI, termasuk saya, kalau punya kesalahan harus diperiksa, harus dihukum. Tidak ada pengecualian," kata Gatot di Mako Paspampres, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Maret 2017.
Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi menegaskan, sampai saat ini belum ada informasi adanya keterlibatan oknum TNI Angkatan Laut. Namun begitu, pihaknya bakal terus memonitor melalui Puspom TNI.
Ade memastikan jika ada oknum yang terlibat, pasti bakal diberikan sanksi tegas. Sampai saat ini pihaknya masih menunggu pemeriksaan dari KPK. "Itu kan pidana. Kalau pidana hukumannya kalau tidak penjara, ya pecat," ujar dia.
Beberapa nama pejabat Badan Keamaan Laut (Bakamla) disebut berperan dalam kasus korupsi monitoring satelite di lembaga tersebut. Pejabat Bakamla, Eko Susilo Hadi, yang kini menjadi tersangka dan tengah ditahan KPK menyatakan siap memembongkar semua fakta.
"Kita siap jadi justice collaborator. Semua yang diketahui, itu akan diungkap," kata pengacara Eko, Soesilo Aribowo, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 14 Maret 2017.
Kepala Bakamla Arie Soedewo meminta jatah 7,5 persen dari pengadaan monitoring satelite. Permintaan dilayangkan pada pemenang lelang, PT Melati Technofo Indonesia.
Hal ini terungkap dalam surat dakwaan Hardy Stefanus, anak buah Fahmi Darmawansyah. Fahmi adalah pemilik PT Technofo Indonesia.
Arie Soedewo menyampaikan jatah 15 persen dari nilai pengadaan, Bakamla mendapat jatah 7,5 persen. Dan akan diberikan lebih dulu 2 persen.
Dalam dakwaan disebutkan, Arie Soedewo meminta Eko Susilo Hadi menghubungi terdakwa dan Muhammad Adami Okta (anak buah Fahmi) untuk menyampaikan jika pemberian sebesar 2 persen diberikan kepada Eko Susilo Hadi.
Saat datang ke kantor Bakamla pada 9 November 2016, Adami mendapat permintaan mengenai bagian 7,5 persen dari Eko. Adami pun berjanji akan memberikan 2 persen lebih dulu.
Eko juga meminta bantuan operasional sebesar 10 ribu dolar AS dan 10 ribu euro. Fahmi kemudian memerintahkan untuk disiapkan dulu 2 persen dari Rp222,438 miliar yaitu Rp4,44 miliar dikurangi uang operasional untuk Eko sehingga menjadi Rp278,6 miliar. Dan sisa untuk Bakamla adalah sebesar Rp4,161 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MBM)