Sebanyak tujuh anggota nonaktif Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur, Malaysia, dituntut enam bulan penjara dan denda Rp10 juta. Branda Antara
Sebanyak tujuh anggota nonaktif Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur, Malaysia, dituntut enam bulan penjara dan denda Rp10 juta. Branda Antara

7 PPLN Kuala Lumpur Dituntut 6 Bulan Penjara

Antara • 20 Maret 2024 06:49
Jakarta: Sebanyak tujuh anggota nonaktif Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur, Malaysia, dituntut enam bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider pidana kurungan tiga bulan dalam kasus dugaan pemalsuan data dan daftar pemilih Pemilu 2024 di Kuala Lumpur. Dalam tuntutannya, enam terdakwa tak perlu dikurung bila tak mengulangi tindak kejahatannya dalam kurun waktu satu tahun ke depan.
 
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 dengan pidana penjara masing-masing selama enam bulan dengan ketentuan tidak perlu dijalani apabila yang bersangkutan dapat dalam masa percobaan selama satu tahun sejak putusan inkrah tidak mengulangi perbuatan atau tidak melakukan tindak pidana lainnya,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa malam, 19 Maret 2024.
 
Keenam terdakwa tersebut adalah Ketua PPLN Kuala Lumpur Umar Faruk, Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Keuangan Tita Octavia Cahya Rahayu, serta Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Data dan Informasi Dicky Saputra.

Kemudian, Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi SDM Aprijon, Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Sosialisasi Puji Sumarsono, dan Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu A. Khalil.
 
Sementara itu, terdakwa ketujuh, yakni Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Logistik Masduki Khamdan Muchamad, dituntut pidana penjara enam bulan dengan perintah penahanan di rutan.
 
“Khusus terdakwa tujuh, Masduki, pidana penjara selama enam bulan dikurangkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa tujuh dengan perintah agar dilakukan penahanan rutan,” ucap Jaksa.
 
Baca Juga: 7 PPLN Kuala Lumpur Jadi Tersangka Pelanggaran Pemilu

Jaksa menilai ketujuh terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu. Yakni, sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih baik yang menyuruh, yang melakukan, atau yang turut serta melakukan.
 
“Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 544 Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana,” kata jaksa.
 
Hal memberatkan dalam menjatuhkan tuntutan adalah para terdakwa selaku penyelenggara pemilu tidak melaksanakan tugas sesuai ketentuan yang berlaku.
 
Khusus terdakwa ketujuh, JPU menilai Masduki telah menyalahgunakan kewenangan dalam perekrutan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) Luar Negeri Kuala Lumpur. Sehingga terdapat pantarlih fiktif yang menyebabkan pelaksanaan pencocokan data pemilih tidak maksimal.
 
“Dan terdakwa tujuh (Masduki) tidak memenuhi panggilan penyidik dan ditetapkan sebagai DPO,” ujar Jaksa.
 
Di sisi lain, hal yang meringankan adalah hasil rangkaian tindak pidana yang diperbuat para terdakwa, mulai dari penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sampai dengan pemungutan suara, telah dianulir dan dinyatakan tidak sah oleh KPU RI atas rekomendasi Bawaslu RI dan dilaksanakan pemungutan suara ulang.
 
Hal meringankan lainnya, para terdakwa telah dinonaktifkan sebagai ketua maupun anggota PPLN Kuala Lumpur, para terdakwa kecuali Masduki dinilai kooperatif, dan tidak berbelit-belit.
 
“Para terdakwa sebagian besar merupakan mahasiswa atau mahasiswi yang sedang menempuh kuliah S3 di Malaysia. Para terdakwa kecuali terdakwa dua dan terdakwa tiga mempunyai tanggungan keluarga, istri, dan anak,” imbuh jaksa.
 
Pada perkara ini, tujuh anggota non-aktif PPLN Kuala Lumpur didakwa memalsukan data dan daftar pemilih luar negeri Pemilu 2024 di Kuala Lumpur, Malaysia.
 
Jaksa meyakini para terdakwa memasukkan data yang tidak benar dan tidak valid karena tidak sesuai hasil coklit ke dalam Data Pemilih Sementara (DPS), menjadi DPS Hasil Perbaikan (DPSHP), dan kemudian ditetapkan menjadi DPT.
 
Para terdakwa juga disebut memindahkan daftar pemilih metode Tempat Pemungutan Suara (TPS) ke metode Kotak Suara Keliling (KSK) dan Pos dalam kondisi data dan alamat pemilih yang tidak jelas atau tidak lengkap.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan