Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak segera menetapkan Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe (LE) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penetapan tersangka itu mestinya sepaket saat ditetapkan tersangka suap dan gratifikasi.
"Penyidik KPK harus segera menerapkan pasal TPPU, digabungkan dengan dugaan pidana suap dan gratifikasinya," kata peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah kepada Medcom.id, Sabtu, 28 Januari 2023.
Menurut Herdiansyah, penggabungan proses hukum itu sekaligus sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya murah. KPK juga sudah lazim melakukan penggabungan proses hukum korupsi dan TPPU sekaligus.
"Itu sudah jadi yurisprudensi dalam banyak kasus. Salah satu contohnya kasus simulator SIM Korlantas Polri yang melibatkan Djoko Susilo. Dia dituntut secara bersamaan, kasus korupsi sekaligus TPPU," jelas Herdiansyah.
Ia menekankan KPK sejatinya sah-sah saja menetapkan Lukas sebagai tersangka TPPU selama memilki bukti permulaan yang cukup. Terlebih sudah ada dugaan aliran uang Lukas ke kasino luar negeri dan digunakan sebagai pencucian uang.
"Tinggal bagaimana penyidik memastikan bukti permulaannya cukup dan memadai. Dengan melihat lalu lintas informasi soal kasino luar negeri, mestinya penyidik KPK tidak sulit menggunakan pasal TPPU dalam perkara LE ini," ucap Herdiansyah.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan terus mengusut kabar adanya aliran dana sebesar Rp560 miliar milik Lukas Enembe di kasino luar negeri. Informasi itu awalnya dibongkar oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Bagaimana dengan tidak pidana uang yang beradar yang digunakan oleh LE (Lukas Enembe) di kasino, ada yang lain. Semua informasi akan ktia pakai dalam rangka penyelesaian perkara-perkara tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka LE," kata Firli Bahuri di Jakarta, Kamis, 12 Januari 2023.
KPK menangkap Lukas Enembe saat makan siang di Jayapura, Papua pada Selasa siang, 10 Januari 2023. Kader Partai Demokrat itu ditangkap karena telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan rasuah.
Lukas terjerat kasus dugaan suap dan gratifikasi. Kasus yang menjerat Lukas itu bermula ketika Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mengikutsertakan perusahaannya untuk mengikuti beberapa proyek pengadaan infrastruktur di Papua pada 2019 sampai dengan 2021. Padahal, korporasi itu bergerak di bidang farmasi.
KPK menduga Rijatono bisa mendapatkan proyek karena sudah melobi beberapa pejabat dan Lukas Enembe sebelum proses pelelangan dimulai. Komunikasi itu diyakini dibarengi pemberian suap.
Kesepakatan dalam kongkalikong Rijatono, Lukas, dan pejabat di Papua lainnya yakni pemberian fee 14 persen dari nilai kontrak. Fee harus bersih dari pengurangan pajak.
Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono atas pemufakatan jahat itu. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar.
Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.
Lukas diduga mengantongi Rp1 miliar dari Rijatono. KPK juga menduga Lukas menerima duit haram dari pihak lain.
Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) didesak segera menetapkan Gubernur nonaktif Papua
Lukas Enembe (LE) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penetapan tersangka itu mestinya sepaket saat ditetapkan tersangka suap dan gratifikasi.
"Penyidik KPK harus segera menerapkan
pasal TPPU, digabungkan dengan dugaan pidana suap dan gratifikasinya," kata peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah kepada
Medcom.id, Sabtu, 28 Januari 2023.
Menurut Herdiansyah, penggabungan proses hukum itu sekaligus sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya murah. KPK juga sudah lazim melakukan penggabungan proses hukum korupsi dan TPPU sekaligus.
"Itu sudah jadi yurisprudensi dalam banyak kasus. Salah satu contohnya kasus simulator SIM Korlantas Polri yang melibatkan Djoko Susilo. Dia dituntut secara bersamaan, kasus korupsi sekaligus TPPU," jelas Herdiansyah.
Ia menekankan KPK sejatinya sah-sah saja menetapkan Lukas sebagai tersangka TPPU selama memilki bukti permulaan yang cukup. Terlebih sudah ada dugaan aliran uang Lukas ke kasino luar negeri dan digunakan sebagai
pencucian uang.
"Tinggal bagaimana penyidik memastikan bukti permulaannya cukup dan memadai. Dengan melihat lalu lintas informasi soal kasino luar negeri, mestinya penyidik KPK tidak sulit menggunakan pasal TPPU dalam perkara LE ini," ucap Herdiansyah.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan terus mengusut kabar adanya aliran dana sebesar Rp560 miliar milik Lukas Enembe di kasino luar negeri. Informasi itu awalnya dibongkar oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Bagaimana dengan tidak pidana uang yang beradar yang digunakan oleh LE (Lukas Enembe) di kasino, ada yang lain. Semua informasi akan ktia pakai dalam rangka penyelesaian perkara-perkara tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka LE," kata Firli Bahuri di Jakarta, Kamis, 12 Januari 2023.
KPK menangkap Lukas Enembe saat makan siang di Jayapura, Papua pada Selasa siang, 10 Januari 2023. Kader Partai Demokrat itu ditangkap karena telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan rasuah.
Lukas terjerat kasus
dugaan suap dan gratifikasi. Kasus yang menjerat Lukas itu bermula ketika Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mengikutsertakan perusahaannya untuk mengikuti beberapa proyek pengadaan infrastruktur di Papua pada 2019 sampai dengan 2021. Padahal, korporasi itu bergerak di bidang farmasi.
KPK menduga Rijatono bisa mendapatkan proyek karena sudah melobi beberapa pejabat dan Lukas Enembe sebelum proses pelelangan dimulai. Komunikasi itu diyakini dibarengi pemberian suap.
Kesepakatan dalam kongkalikong Rijatono, Lukas, dan pejabat di Papua lainnya yakni pemberian
fee 14 persen dari nilai kontrak.
Fee harus bersih dari pengurangan pajak.
Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono atas pemufakatan jahat itu. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar.
Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan
venue menembang
outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.
Lukas diduga mengantongi Rp1 miliar dari Rijatono. KPK juga menduga Lukas menerima duit haram dari pihak lain.
Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)