medcom.id, Jakarta: Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan rupanya sudah dua kali mondar-mandir di Mahkamah Konstitusi. Setidaknya, UU tersebut pernah masuk MK pada 2009 dan 2014.
Ketua Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Teguh Boediyana selaku pengusul menjelaskan, pada 2009 pihaknya pernah mengajukan permohonan terhadap UU Nomor 18 Tahun 2009 untuk diuji materi di MK. Obyek gugatan ialah pasal yang mengatur tentang zone base dalam mengimpor daging pada Pasal 59.
"Gugatannya adalah dari zona menjadi negara," kata Teguh kepada Metrotvnews.com, Jumat (27/1/2017).
Pada Pasal 59 UU Nomor 18 Tahun 2009 ayat 2 disebutkan,
'Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.
Pada 2010, MK membatalkan udang-undang tersebut. MK mengabulkan pasal tersebut dari berbasis zona menjadi berbasis negara.
"Putusannya uji materi dikabulkan, yaitu berbasis negara," ujar Teguh.
Namun, pada 2014, atas inisiatif DPR UU tersebut kembali diusulkan dengan berbasis zona dan menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu.
"Salah satunya adalah pasal penentuan yang sudah dibatalkan MK, dimasukkan kembali," ucap Teguh.
Tak terima dengan keputusan itu, Teguh dan kawan-kawan kembali mengajukan gugatan pada Oktober 2015. Menurut dia, gugatan pertama yang telah dikabulkan seharusnya final and binding. Namun, Komisi IV DPR kala itu tetap berinisiatif mengusulkan perubahan terhadap impor zona daging.
Saat ini, jelas Teguh, UU tersebut sudah selesai di MK. Namun putusan terhadap judicial review UU Nomor 41 Tahun 2014 tersebut belum keluar.
"Sampai sekarang putusannya belum keluar," ucap dia.
Teguh berharap kejadian yang menimpa hakim konstitusi Patrialis Akbar yang diduga menerima suap terkait judicial review UU tersebut segera mengeluarkan putusan.
"Saya bersukur dengan peristiwa kemarin. Ini memacu MK untuk mengeluarkan putusan, karena selama ini kami nunggu-nunggu terus," ujar dia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim konstitusi Patrialis Akbar. Dia diduga menerima fee sebesar 200 ribu dollar Singapura untuk memuluskan Judicial Review Undang-undang Nomor 14 Tahun 2016 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Mantan politikus PAN itu dijerat Pasal 12c atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) seperti diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. DPR kata Fadli menghargai proses hukum yang ada.
Ketua MK, Arief Hidaya tak membantah Patrialis merupakan anggota dalam tim panel uji materi undang-undang tersebut, bersama Manahan M.P Sitompul dan I Dewa Gede Palguna menjadi tim panel undang-undang tersebut. Namun, Arief menegaskan, tim panel tidak bisa mengambil keputusan uji materi undang-undang. Tim panel hanya bertugas memeriksa pendahuluan uji materi tersebut.
Putusan, kata Arief, harus diambil sembilan hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Saat ini, uji materi UU tersebut sudah selesai dibahas dan sudah memasuki tahap putusan.
"Ini sudah selesai finalisasi, dan akan segera dibacakan putusannya," ujar Arief, kemarin.
medcom.id, Jakarta: Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan rupanya sudah dua kali mondar-mandir di Mahkamah Konstitusi. Setidaknya, UU tersebut pernah masuk MK pada 2009 dan 2014.
Ketua Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Teguh Boediyana selaku pengusul menjelaskan, pada 2009 pihaknya pernah mengajukan permohonan terhadap UU Nomor 18 Tahun 2009 untuk diuji materi di MK. Obyek gugatan ialah pasal yang mengatur tentang zone base dalam mengimpor daging pada Pasal 59.
"Gugatannya adalah dari zona menjadi negara," kata Teguh kepada
Metrotvnews.com, Jumat (27/1/2017).
Pada Pasal 59 UU Nomor 18 Tahun 2009 ayat 2 disebutkan,
'Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.
Pada 2010, MK membatalkan udang-undang tersebut. MK mengabulkan pasal tersebut dari berbasis zona menjadi berbasis negara.
"Putusannya uji materi dikabulkan, yaitu berbasis negara," ujar Teguh.
Namun, pada 2014, atas inisiatif DPR UU tersebut kembali diusulkan dengan berbasis zona dan menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu.
"Salah satunya adalah pasal penentuan yang sudah dibatalkan MK, dimasukkan kembali," ucap Teguh.
Tak terima dengan keputusan itu, Teguh dan kawan-kawan kembali mengajukan gugatan pada Oktober 2015. Menurut dia, gugatan pertama yang telah dikabulkan seharusnya final and binding. Namun, Komisi IV DPR kala itu tetap berinisiatif mengusulkan perubahan terhadap impor zona daging.
Saat ini, jelas Teguh, UU tersebut sudah selesai di MK. Namun putusan terhadap judicial review UU Nomor 41 Tahun 2014 tersebut belum keluar.
"Sampai sekarang putusannya belum keluar," ucap dia.
Teguh berharap kejadian yang menimpa hakim konstitusi Patrialis Akbar yang diduga menerima suap terkait judicial review UU tersebut segera mengeluarkan putusan.
"Saya bersukur dengan peristiwa kemarin. Ini memacu MK untuk mengeluarkan putusan, karena selama ini kami nunggu-nunggu terus," ujar dia.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim konstitusi Patrialis Akbar. Dia diduga menerima fee sebesar 200 ribu dollar Singapura untuk memuluskan Judicial Review Undang-undang Nomor 14 Tahun 2016 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Mantan politikus PAN itu dijerat Pasal 12c atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) seperti diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. DPR kata Fadli menghargai proses hukum yang ada.
Ketua MK, Arief Hidaya tak membantah Patrialis merupakan anggota dalam tim panel uji materi undang-undang tersebut, bersama Manahan M.P Sitompul dan I Dewa Gede Palguna menjadi tim panel undang-undang tersebut. Namun, Arief menegaskan, tim panel tidak bisa mengambil keputusan uji materi undang-undang. Tim panel hanya bertugas memeriksa pendahuluan uji materi tersebut.
Putusan, kata Arief, harus diambil sembilan hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Saat ini, uji materi UU tersebut sudah selesai dibahas dan sudah memasuki tahap putusan.
"Ini sudah selesai finalisasi, dan akan segera dibacakan putusannya," ujar Arief, kemarin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(OJE)