medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo melakukan lawatan ke Hong Kong untuk melakukan kunjungan kerja. Salah satu agenda utama dalam kunjungan tersebut yakni bertemu dengan pekerja migran di sana yang rata-rata bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
Dalam momentum tersebut, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendesak Jokowi agar meningkatkan perlindungan buruh migran. Ketua Umum SBMI, Hariyanto mengatakan, berdasarkan data kasus yang diterima SBMI selama dua tahun terakhir, ada 1.501 pengaduan dari berbagai negara.
"Khusus untuk Hong Kong yang selama ini dianggap lebih baik memberikan perlindungan bagi para pekerja migran, nyatanya masih banyak mengalami masalah terutama terkait kasus pelanggaran perjanjian penempatan yang menyebabkan pekerja migran mengalami pembebanan biaya yang mahal (overcharging). 215 kasus di Hong Kong, di mana 93 persennya kasus overcharging," kata Hariyanto di Gedung LBH, Jakarta Pusat, Minggu 30 April 2017.
Rata-rata, lanjut Hariyanto, para pekerja tidak mengetahui dan tidak memegang dokumen perjanjian penempatan. Padahal, perjanjian penempatan yang diatur dalam Permen 22 Tahun 2014 telah mengatur komponen biaya penempatan di Hong Kong.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Advokasi Migran Institute Nursalim mengatakan, beberapa persoalan pekerja migran yang ada di Hong Kong memang belum terselesaikan. Salah satu contoh adalah pelayanan KJRI yang dinilai kurang maksimal, overcharging, kebebasan beragama, SIMKIM, narkotika, PHK sepihak hingga jual beli job.
"Kami temukan pengaduan kesulitan melaksanakan ibadah sesuai kepercayaan. Mereka umumnya mencuri waktu tanpa pengetahuan majikan untuk ibadah di tempat parkir di dalam toilet bahkan ada juga yang dipaksa makan daging babi. Bagi pekerja migran muslim tentu bertentangan," jelas Nursalim.
Menurut dirinya, tata kelola penempatan TKI yang buruk di dalam negeri mengakibatkan TKI harus berhadapan dengan masalah hukum di negera penempatan. Selain itu, mereka terancam dipulangkan dan tidak bisa kembali bekerja lagi ke Hong Kong akibat sistem SIMKIM.
Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) 2016, penempatan jumlah TKI di Hong Kong tercatat 3.877 orang. Angka itu bertambah menjadi 4.695 di 2017 (Januari-Maret) dan menduduki peringkat ketiga terbesar dari beberapa penempatan TKI ke luar negeri.
medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo melakukan lawatan ke Hong Kong untuk melakukan kunjungan kerja. Salah satu agenda utama dalam kunjungan tersebut yakni bertemu dengan pekerja migran di sana yang rata-rata bekerja sebagai pekerja rumah tangga.
Dalam momentum tersebut, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendesak Jokowi agar meningkatkan perlindungan buruh migran. Ketua Umum SBMI, Hariyanto mengatakan, berdasarkan data kasus yang diterima SBMI selama dua tahun terakhir, ada 1.501 pengaduan dari berbagai negara.
"Khusus untuk Hong Kong yang selama ini dianggap lebih baik memberikan perlindungan bagi para pekerja migran, nyatanya masih banyak mengalami masalah terutama terkait kasus pelanggaran perjanjian penempatan yang menyebabkan pekerja migran mengalami pembebanan biaya yang mahal (overcharging). 215 kasus di Hong Kong, di mana 93 persennya kasus overcharging," kata Hariyanto di Gedung LBH, Jakarta Pusat, Minggu 30 April 2017.
Rata-rata, lanjut Hariyanto, para pekerja tidak mengetahui dan tidak memegang dokumen perjanjian penempatan. Padahal, perjanjian penempatan yang diatur dalam Permen 22 Tahun 2014 telah mengatur komponen biaya penempatan di Hong Kong.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Advokasi Migran Institute Nursalim mengatakan, beberapa persoalan pekerja migran yang ada di Hong Kong memang belum terselesaikan. Salah satu contoh adalah pelayanan KJRI yang dinilai kurang maksimal, overcharging, kebebasan beragama, SIMKIM, narkotika, PHK sepihak hingga jual beli job.
"Kami temukan pengaduan kesulitan melaksanakan ibadah sesuai kepercayaan. Mereka umumnya mencuri waktu tanpa pengetahuan majikan untuk ibadah di tempat parkir di dalam toilet bahkan ada juga yang dipaksa makan daging babi. Bagi pekerja migran muslim tentu bertentangan," jelas Nursalim.
Menurut dirinya, tata kelola penempatan TKI yang buruk di dalam negeri mengakibatkan TKI harus berhadapan dengan masalah hukum di negera penempatan. Selain itu, mereka terancam dipulangkan dan tidak bisa kembali bekerja lagi ke Hong Kong akibat sistem SIMKIM.
Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) 2016, penempatan jumlah TKI di Hong Kong tercatat 3.877 orang. Angka itu bertambah menjadi 4.695 di 2017 (Januari-Maret) dan menduduki peringkat ketiga terbesar dari beberapa penempatan TKI ke luar negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DEN)