Humprey Ejike Jefferson  saat mengikuti sidang peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 5 Oktober 2006. Antara Foto/Jefri Aries
Humprey Ejike Jefferson saat mengikuti sidang peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis 5 Oktober 2006. Antara Foto/Jefri Aries

Kejagung Dilaporkan ke Ombudsman Terkait Eksekusi Mati

Damar Iradat • 08 Agustus 2016 17:01
medcom.id, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia melaporkan Kejaksaan Agung ke Ombudsman RI. Diduga ada maladministrasi dalam pelaksanaan eksekusi mati Humprey Ejike Jefferson.
 
Humprey, terpidana mati kasus narkoba, dieksekusi bersama tiga terpidana mati lainnya pada Jumat dini hari 29 Juli. Sementara, menurut Ricky Gunawan, koordinator tim kuasa hukum Humprey dari YLBHI, tiga hari sebelum pelaksanaan eksekusi mati Humprey, YLBHI mendaftarkan permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
 
Ricky mengatakan, dalam putusan bernomor NO 107/PUU-XII/2015, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa permohonan grasi merupakan hak yang tidak dibatasi waktu pengajuannya karena menghilangkan hak konstitusional terpidana.

"Berdasarkan putusan MK itu, Humprey masih memiliki hak pengajuan grasi," kata Ricky di Gedung Ombudsman RI, Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (8/8/2016).
 
Ricky juga memaparkan, berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 jo Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi dinyatakan bahwa bagi terpidana mati, kuasa hukum, atau keluarga terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.
 
Sedangkan Humprey, kata Ricky, belum menerima putusan grasi hingga akhirnya ia ditembak mati.
 
Selasa, 26 Juli, sekitar pukul 15.00, Humprey baru menerima notifikasi eksekusi. Ricky mengatakan, jika Kejaksaan Agung berpegangan pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, maka eksekusi mati harus dilaksanakan 3 x 24 jam setelah notifikasi dikeluarkan.
 
"Jika menurut pasal tersebut, eksekusi itu seharusnya terjadi paling cepat Jumat sore 29 Juli. Berarti eksekusi oleh Kejaksaan Agung pada Jumat dini hari tidak sah dan melanggar hukum," tegasnya.
 
Humprey Ejike, warga Nigeria, ditangkap di salah satu restoran di Depok, Jawa Barat, pada 2003 karena memiliki 1,7 kilogram heroin. Pria yang dikenal dengan panggilan doktor itu masih bisa mengedarkan narkoba meski dipenjara. BNN menangkapnya pada November 2012.
 
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Humprey hukuman mati. Putusan Pengadilan Tinggi memperkuat vonis di pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Humprey pada 2007.
 
Ombudsman berjanji menindaklanjuti laporan tersebut. Pimpinan Ombudsman Adrianus Meliala mengatakan, pihaknya akan mengecek terlebih dahulu laporan YLBHI. Jika ditemukan pelanggaran hukum secara administrasi, Ombudsman akan meneruskan laporan ini ke penegak hukum hukum.
 
"Tidak boleh ada ruang terjadi pelanggaran, apalagi eksekusi mati," kata Adrianus.
 
Pimpinan Ombudsman Ninik Rahayu menyampaikan pihaknya akan mengklarifikasi dugaan pelanggaran hukum pada pelaksaan hukuman mati ke Kejaksaan Agung. Ninik menduga pelanggaran terjadi saat proses eksekusi Humprey.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TRK)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan