medcom.id, Jakarta: Terpidana mati Merry Utami lolos dari hukuman mati tahap III. Alasannya, karena aspek yuridis dan non-yuridis.
Kuasa hukum Merry, Ricky Gunawan, mempertanyakan alasan tersebut dan sampai kapan eksekusi Merry ditanggguhkan. "Kita tentu merasa lega, tapi bukan berarti 100 persen jelas lega. Karena sampai sekarang tidak pernah ada keterangan komprehensif mengenai mengapa dia ditangguhkan dan sampai kapan status itu," ujarnya saat dihubungi, Jumat (29/7/2016).
Ricky mengomentari alasan Jaksa Agung M. Prasetyo terkait alasan yuridis. Menurut dia, Prasetyo pernah mengatakan semua hak hukum terpidana mati telah diberikan dan sudah final.
"Kalau sekarang dia menyebut ada alasan yuridis, dia mengingkari statement sebelumnya. Kalau sebelumnya bilang tidak ada lagi alasan yuridis bagi terpidana, lantas mengapa sekarang ngomongnya begitu?" tanyanya.
Bus Transpas yang digunakan untuk memindahkan terpidana mati kasus narkotika Merry Utami, keluar dari dermaga penyeberangan Wijayapura, Cilacap, Jateng, Minggu (24/7)--Antara/Idhad Zakaria.
Selanjutnya, tambah dia, alasan non-yuridis berarti politis dan rentan terhadap penangguhan itu. "Artinya kita tidak tahu penangghuhan ini sampai kapan dan karena alasan apa," kata dia.
Dia mengatakan, pihaknya bersyukur, Merry batal dieksekusi saat ini. Namun, kata dia, pihaknya menuntut agar Prasetyo mempertegas alasan dari penangguhan eksekusi buat Merry.
"Kalau memang mau ditangguhkan, alasannya apa? Sampai kapan? Jangan digantungkan begitu saja. Kita minta memperjelas saja, ini kan belum aman sepenuhnya," tegasnya.
Ricky mengatakan, hingga kini belum mendapat kepastian akankan Merry segera dipindahkan dari Nusakambangan, Cilacap. "Belum ada (kepastian). terakhir komunikasi dengan jaksa tadi pagi itu tidak ada kejelasan. Kita sayangkan kejaksaan tidak terbuka terhadap statusnya Merry. Ini juga berhubungan dengan statement Jaksa Agung soal penangguhan," tutupnya.
Jumat dini hari 29 Juli, Kejaksaan Agung sedianya mengeksekusi 14 terpidana mati kasus narkoba. Namun, menjelang pelaksanaan eksekusi, Prasetyo menyetujui penundaan eksekusi kepada 10 terpidana mati.
Keputusan itu keluar setelah Prasetyo mendapat laporan dari tim di lapangan yang dipimpin Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Noord Rachmad. Menurut Prasetyo ada aspek yuridis dan nonyuridis terkait 10 terpidana mati yang harus dilihat kembali.
"Kami akan lihat pada saat yang tepat dan kajian semua aspek. Yang pasti, kami tidak akan berhenti melakukan eksekusi mati terpidana narkotika," kata Prasetyo di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat 29 Juli.
Prasetyo menegaskan, penundaan eksekusi mati kepada 10 terpidana mati bukan karena ada tekanan. Dia berharap, negara yang warganya harus menjalani hukuman mati di Indonesia menghormati kedaulatan hukum di Indonesia.
"Penangguhan (eksekusi mati) ini telah melalui pengkajian secara cermat baik dari sisi yuiridis maupun nonyuridis. Kami ingin semua aspek tidak ada yang dilanggar," terangnya.
Empat terpidana mati yang dieksekusi dini hari tadi, yakni Freddy Budiman (warga Indonesia), Michael Titus Igweh (warga Nigeria), Humphrey Ejike (warga Nigeria), dan Seck Osmane (warga Senegal).
Freddy divonis sebagai pemilik 1,4 juta butir ekstasi. Titus ditangkap dengan barang bukti 5.223 gram heroin. Ejike pemilih 300 gram heroin dan Osmane dibekuk dengan barang bukti 2,4 kilogram heroin.
Data yang dikantongi Prasetyo bahwa saat ini korban penyalahgunaan narkoba di Indonesia lebih dari lima juta orang. Dari jumlah itu 1,5 juta di antaranya sudah tidak mungkin diobati. "Sudah menjadi sampah masyarakat," tegasnya.
Prasetyo juga menyebut hampir 40 orang sampai 50 orang setiap hari meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Lebih dari 60 persen penghuni lapas terlibat kejahatan narkoba.
medcom.id, Jakarta: Terpidana mati Merry Utami lolos dari hukuman mati tahap III. Alasannya, karena aspek yuridis dan non-yuridis.
Kuasa hukum Merry, Ricky Gunawan, mempertanyakan alasan tersebut dan sampai kapan eksekusi Merry ditanggguhkan. "Kita tentu merasa lega, tapi bukan berarti 100 persen jelas lega. Karena sampai sekarang tidak pernah ada keterangan komprehensif mengenai mengapa dia ditangguhkan dan sampai kapan status itu," ujarnya saat dihubungi, Jumat (29/7/2016).
Ricky mengomentari alasan Jaksa Agung M. Prasetyo terkait alasan yuridis. Menurut dia, Prasetyo pernah mengatakan semua hak hukum terpidana mati telah diberikan dan sudah final.
"Kalau sekarang dia menyebut ada alasan yuridis, dia mengingkari statement sebelumnya. Kalau sebelumnya bilang tidak ada lagi alasan yuridis bagi terpidana, lantas mengapa sekarang ngomongnya begitu?" tanyanya.
Bus Transpas yang digunakan untuk memindahkan terpidana mati kasus narkotika Merry Utami, keluar dari dermaga penyeberangan Wijayapura, Cilacap, Jateng, Minggu (24/7)--Antara/Idhad Zakaria.
Selanjutnya, tambah dia, alasan non-yuridis berarti politis dan rentan terhadap penangguhan itu. "Artinya kita tidak tahu penangghuhan ini sampai kapan dan karena alasan apa," kata dia.
Dia mengatakan, pihaknya bersyukur, Merry batal dieksekusi saat ini. Namun, kata dia, pihaknya menuntut agar Prasetyo mempertegas alasan dari penangguhan eksekusi buat Merry.
"Kalau memang mau ditangguhkan, alasannya apa? Sampai kapan? Jangan digantungkan begitu saja. Kita minta memperjelas saja, ini kan belum aman sepenuhnya," tegasnya.
Ricky mengatakan, hingga kini belum mendapat kepastian akankan Merry segera dipindahkan dari Nusakambangan, Cilacap. "Belum ada (kepastian). terakhir komunikasi dengan jaksa tadi pagi itu tidak ada kejelasan. Kita sayangkan kejaksaan tidak terbuka terhadap statusnya Merry. Ini juga berhubungan dengan statement Jaksa Agung soal penangguhan," tutupnya.
Jumat dini hari 29 Juli, Kejaksaan Agung sedianya mengeksekusi 14 terpidana mati kasus narkoba. Namun, menjelang pelaksanaan eksekusi, Prasetyo menyetujui penundaan eksekusi kepada 10 terpidana mati.
Keputusan itu keluar setelah Prasetyo mendapat laporan dari tim di lapangan yang dipimpin Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Noord Rachmad. Menurut Prasetyo ada aspek yuridis dan nonyuridis terkait 10 terpidana mati yang harus dilihat kembali.
"Kami akan lihat pada saat yang tepat dan kajian semua aspek. Yang pasti, kami tidak akan berhenti melakukan eksekusi mati terpidana narkotika," kata Prasetyo di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat 29 Juli.
Prasetyo menegaskan, penundaan eksekusi mati kepada 10 terpidana mati bukan karena ada tekanan. Dia berharap, negara yang warganya harus menjalani hukuman mati di Indonesia menghormati kedaulatan hukum di Indonesia.
"Penangguhan (eksekusi mati) ini telah melalui pengkajian secara cermat baik dari sisi yuiridis maupun nonyuridis. Kami ingin semua aspek tidak ada yang dilanggar," terangnya.
Empat terpidana mati yang dieksekusi dini hari tadi, yakni Freddy Budiman (warga Indonesia), Michael Titus Igweh (warga Nigeria), Humphrey Ejike (warga Nigeria), dan Seck Osmane (warga Senegal).
Freddy divonis sebagai pemilik 1,4 juta butir ekstasi. Titus ditangkap dengan barang bukti 5.223 gram heroin. Ejike pemilih 300 gram heroin dan Osmane dibekuk dengan barang bukti 2,4 kilogram heroin.
Data yang dikantongi Prasetyo bahwa saat ini korban penyalahgunaan narkoba di Indonesia lebih dari lima juta orang. Dari jumlah itu 1,5 juta di antaranya sudah tidak mungkin diobati. "Sudah menjadi sampah masyarakat," tegasnya.
Prasetyo juga menyebut hampir 40 orang sampai 50 orang setiap hari meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Lebih dari 60 persen penghuni lapas terlibat kejahatan narkoba.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)