MK. Foto: Widodo S Jusuf/Antara
MK. Foto: Widodo S Jusuf/Antara

MK Putuskan Penetapan Tersangka Jadi Objek Praperadilan

Adhi M Daryono • 28 April 2015 21:00
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 77 huruf a yang dimohonkan oleh terpidana kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pasific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah.
 
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Arief Hidayat mengucapkan amar putusan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya, Selasa (28/4/2015).  
 
Putusan tersebut menegaskan ketentuan praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan konstitusi.  Mahkamah berpendapat, KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena tidak adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti.

"Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya," ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan Pertimbangan Hukum.
 
Dalam perjalanannya Mahkamah berpendapat lembaga praperadilan tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi. "Fungsi pengawasan pranata praperadilan hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan," imbuhnya.
 
Sebelumnya, pengajuan praperadilan dalam hal penetapan tersangka dibatasi oleh ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal, Mahkamah berpendapat penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.
 
“Mahkamah berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum,” tegas Anwar.
 
Selain itu, dalam putusan perkara ini Mahkamah menyatakan frasa 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup', dan 'bukti yang cukup' yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai 'minimal dua alat bukti' yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
 
Ketentuan sebelumnya dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah dari frasa 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup', dan 'bukti yang cukup'.
 
Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu, pemaknaan 'minimal dua alat bukti' dinilai Mahkamah merupakan perwujudan asas due process of law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana.
 
“Dengan demikian, seorang penyidik di dalam menentukan ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang,” tegas Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
 
Dalam pembacaaan amar putusan tersebut diwarnai dissenting opinion atau perbedaan pendapat di antara hakim yakni Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Muhammad Alim. Menurut Palguna, Mahkamah seharusnya menolak permohonan Pemohon terkait dengan tidak masuknya penetapan tersangka dalam lingkup praperadilan lantaran hal tersebut tidak bertentangan dengan Konstitusi.
 
Mengacu pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Palguna menilai tidak memasukkan penetapan tersangka ke dalam ruang lingkup praperadilan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menuntut adanya tanggung jawab negara .
 
Adapun Hakim Konstitusi Muhammad Alim menilai, jika dalam kasus konkret penyidik bisa menyalahgunakan kewenangannya. Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto berpendapat tidak dimasukannya penetapan tersangka dalam ruang lingkup praperadilan merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk merevisinya. Tidak dimasukannya ketentuan tersebut tidak serta merta menjadikan Pasal 77 huruf a bertentangan dengan Konstitusi.
 
Sebelumnya, terdakwa kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah mengajukan pengujian undang-undang terkait ketentuan tentang penyidikan, proses penahanan, dan pemeriksaan perkara dalam KUHAP.
 
“Jelas terhadap hubungan sebab-akibat antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal dalam KUHAP yang diuji dalam permohonan ini. Karena pemberlakuan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon dirugikan atas pengakuan, jaminan perlindungan,  kepastian hukum yang adil, dan hak konstitusional atas due process of law ” ujar kuasa hukum pemohon Maqdir Ismail.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan