medcom.id, Jakarta: Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakir menilai, pidana mati tidak bisa dihilangkan di negara ini kendati memunculkan polemik di kalangan masyarakat. Hukum Indonesia, menurutnya tidak bisa disamakan dengan hukum negara-negara yang sudah menerapkan penghapusan pidana mati.
“Dalam UUD 1945 sudah diatur, hukuman mati tidak begitu saja diputus. Hakim mempertimbangkan baik aspek konstitusionalnya, sosiologis masyarakat, dan filsafatnya. Disamping itu beradasrkan hukum pidana, sudah diuji di MK dan pidana mati konstitusional,” ujarnya di Jakarta, Senin (17/11/2014).
Mudzakir menjelaskan ada keadaan-keadaan dan syarat yang harus terpenuhi untuk menjatuhkan pidana mati pada seseorang. Ia mencontohkan, dalam kasus pembunuhan, saat seseorang menghabisi nyawa orang lain secara keji dan bengis, serta itu merupakan pembunuhan tersencana. Maka dirinya layak divonis mati atas dasar asas kemanusian yang adil dan beradab dan pasal 28 i UUD 1945 yakni hak seseorang tidak boleh dibunuh secara semena-mena.
“Kalau orang telah mematikan orang lain jelas pelanggaran hak asasi manusia untuk hidup, dia telah melangar konstitusi hak orang lain untuk hidup. Tidak ada penghargaan terhadap nyawa manusia. Wajar jika yang bersangkutan dijatuhi pidana mati. Disamping itu, selama ini dikenal utang nyawa saur (dibayar) nyawa,” paparnya.
Dijelaskannya lebih lanjut, vonis mati diberlakukan demi keadilan, terutama memerhatikan korban dan keluarganya. Ia mengatakan, tidak ada korelasi antara penerapan hukuman mati dapat mengurangi kejahatan serupa.
“Setiap pasal berdiri sendiri, justice parameternya adalah terhadap perbuatan pidana yang bersangkutan dan diharapkan dengan adanya pidana mati, masyarakat mendapat efek pembelajaran,” katanya.
Ia menambahkan, istilah korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) harus dikaji ulang. Tidak semua pidana korupsi dapat dikenakan pidana mati.
Di lain pihak Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan hukuman mati berarti mengurangi hak seseorang untuk hidup dan nyata-nyata bertentangan dengan pasal 28a dan 28i UUD 1945.
“Disamping itu, Indonesia tahun 2005 telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan semangat penghapusan pidana mati,” katanya.
medcom.id, Jakarta: Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakir menilai, pidana mati tidak bisa dihilangkan di negara ini kendati memunculkan polemik di kalangan masyarakat. Hukum Indonesia, menurutnya tidak bisa disamakan dengan hukum negara-negara yang sudah menerapkan penghapusan pidana mati.
“Dalam UUD 1945 sudah diatur, hukuman mati tidak begitu saja diputus. Hakim mempertimbangkan baik aspek konstitusionalnya, sosiologis masyarakat, dan filsafatnya. Disamping itu beradasrkan hukum pidana, sudah diuji di MK dan pidana mati konstitusional,” ujarnya di Jakarta, Senin (17/11/2014).
Mudzakir menjelaskan ada keadaan-keadaan dan syarat yang harus terpenuhi untuk menjatuhkan pidana mati pada seseorang. Ia mencontohkan, dalam kasus pembunuhan, saat seseorang menghabisi nyawa orang lain secara keji dan bengis, serta itu merupakan pembunuhan tersencana. Maka dirinya layak divonis mati atas dasar asas kemanusian yang adil dan beradab dan pasal 28 i UUD 1945 yakni hak seseorang tidak boleh dibunuh secara semena-mena.
“Kalau orang telah mematikan orang lain jelas pelanggaran hak asasi manusia untuk hidup, dia telah melangar konstitusi hak orang lain untuk hidup. Tidak ada penghargaan terhadap nyawa manusia. Wajar jika yang bersangkutan dijatuhi pidana mati. Disamping itu, selama ini dikenal utang nyawa
saur (dibayar) nyawa,” paparnya.
Dijelaskannya lebih lanjut, vonis mati diberlakukan demi keadilan, terutama memerhatikan korban dan keluarganya. Ia mengatakan, tidak ada korelasi antara penerapan hukuman mati dapat mengurangi kejahatan serupa.
“Setiap pasal berdiri sendiri,
justice parameternya adalah terhadap perbuatan pidana yang bersangkutan dan diharapkan dengan adanya pidana mati, masyarakat mendapat efek pembelajaran,” katanya.
Ia menambahkan, istilah korupsi sebagai
extraordinary crime (kejahatan luar biasa) harus dikaji ulang. Tidak semua pidana korupsi dapat dikenakan pidana mati.
Di lain pihak Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan hukuman mati berarti mengurangi hak seseorang untuk hidup dan nyata-nyata bertentangan dengan pasal 28a dan 28i UUD 1945.
“Disamping itu, Indonesia tahun 2005 telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan semangat penghapusan pidana mati,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LAL)