Jakarta: Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mendukung usulan revisi Pasal 28A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal itu dinilai memiliki tafsiran yang cukup luas, terutama frasa antargolongan.
"Yang menimbulkan kerancuan adalah tafsir istilah antargolongan dalam SARA (suku, agama, ras, antargolongan)," kata Abdul kepada Medcom.id, Jumat, 16 Oktober 2020.
Penafsiran yang terlalu luas membuat penggunaan hukum pidana rawan dimanfaatkan. Bahkan, jadi alat politik kelompok tertentu membungkam pihak yang bertentangan.
"Rawan digunakan oleh penguasa memukul lawan politik," tutur dia.
Dia mengungkapkan perluasan makna antargolongan dalam Pasal 28A diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 76/PUU-X/2017. MK berpandangan istilah antargolongan yang dimaksud tidak hanya sebatas meliputi suku, agama, dan ras.
"Melainkan meliputi lebih dari itu, yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras," beber Fickar.
Dia menilai pandangan MK tidak memenuhi prinsip atau asas legalitas hukum pidana, yakni lex certa, lex stricta, dan lex scripta."Berdasarkan prinsip ini (lex certa, lex stricta, dan lex scripta), maka rumusan hukum pidana harus pasti dan ketat dan karenanya tidak boleh ditafsirkan secara meluas," ujar dia.
Fickar mendukung usulan revisi Pasal 28A UU ITE. Jika perlu, ketentuan tersebut dihapus.
"Tapi tetap jika mungkin ketentuan ini dicabut, karena sudah ada di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," ujar dia.
Jakarta: Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mendukung usulan revisi Pasal 28A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (
UU ITE). Pasal itu dinilai memiliki tafsiran yang cukup luas, terutama frasa antargolongan.
"Yang menimbulkan kerancuan adalah tafsir istilah antargolongan dalam SARA (suku, agama, ras, antargolongan)," kata Abdul kepada
Medcom.id, Jumat, 16 Oktober 2020.
Penafsiran yang terlalu luas membuat penggunaan hukum pidana rawan dimanfaatkan. Bahkan, jadi alat politik kelompok tertentu membungkam pihak yang bertentangan.
"Rawan digunakan oleh penguasa memukul lawan politik," tutur dia.
Dia mengungkapkan perluasan makna antargolongan dalam Pasal 28A diperkuat putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 76/PUU-X/2017. MK berpandangan istilah antargolongan yang dimaksud tidak hanya sebatas meliputi suku, agama, dan ras.
"Melainkan meliputi lebih dari itu, yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras," beber Fickar.
Dia menilai pandangan MK tidak memenuhi prinsip atau asas legalitas hukum pidana, yakni
lex certa,
lex stricta, dan
lex scripta."Berdasarkan prinsip ini (
lex certa,
lex stricta, dan
lex scripta), maka rumusan hukum pidana harus pasti dan ketat dan karenanya tidak boleh ditafsirkan secara meluas," ujar dia.
Fickar mendukung usulan revisi Pasal 28A UU ITE. Jika perlu, ketentuan tersebut dihapus.
"Tapi tetap jika mungkin ketentuan ini dicabut, karena sudah ada di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)