medcom.id, Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih sulit memberikan hak identitas baru bagi saksi dan korban. Kesulitan ini disebabkan oleh budaya kekerabatan Indonesia yang masih sangat kental.
“Yang belum bisa didapatkan LPSK yaitu hak mendapatkan identitas baru bagi saksi dan korban, karena sistem kekerabatan masih kental di Indonesia. Jika diberikan identitas baru, hal itu akan memutus hubungan kekeluargaan dan hak-hak lainnya,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu di kantor LPSK, Jakarta, Rabu (22/4/2015).
Sebelumnya, perubahan identitas ini diatur jelas dalam Pasal 5 Undang-undang (UU) No 31 Tahun 2014 atas Perubahan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun karena keterbatasn LPSK hal ini menjadi sulit untuk dilakukan.
Belum lagi, lanjut Edwin, dalam pemberian perlindungan, LPSK bekerjasama dengan aparat penegak hukum lain, seperti polisi dan jaksa. Namun, hubungan itu tak selalu berjalan mulus dan kerap mendapat kendala dan hambatan.
“Terkadang untuk memastikan kondisi saksi dan korban, LPSK perlu mengetahui duduk kasus. Namun, di lapangan, ada penyidik yang masih enggan berbagi BAP (berita acara pemeriksaan),” ungkap Edwin.
Dalam fokusnya, kata Edwin, LPSK berkutat pada kasus-kasus prioritas, yakni tindak pidana pelanggaran HAM berat, korupsi, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, narkotika, psikotropika, dan kekerasan seksual anak.
Namun, tidak menutup kemungkinan, ada tindak pidana umum lain yang juga mendapatkan perhatian LPSK dengan syarat, saksi dan korban dalam kasus itu memang benar-benar berada di bawah ancaman.
medcom.id, Jakarta: Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih sulit memberikan hak identitas baru bagi saksi dan korban. Kesulitan ini disebabkan oleh budaya kekerabatan Indonesia yang masih sangat kental.
“Yang belum bisa didapatkan LPSK yaitu hak mendapatkan identitas baru bagi saksi dan korban, karena sistem kekerabatan masih kental di Indonesia. Jika diberikan identitas baru, hal itu akan memutus hubungan kekeluargaan dan hak-hak lainnya,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu di kantor LPSK, Jakarta, Rabu (22/4/2015).
Sebelumnya, perubahan identitas ini diatur jelas dalam Pasal 5 Undang-undang (UU) No 31 Tahun 2014 atas Perubahan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun karena keterbatasn LPSK hal ini menjadi sulit untuk dilakukan.
Belum lagi, lanjut Edwin, dalam pemberian perlindungan, LPSK bekerjasama dengan aparat penegak hukum lain, seperti polisi dan jaksa. Namun, hubungan itu tak selalu berjalan mulus dan kerap mendapat kendala dan hambatan.
“Terkadang untuk memastikan kondisi saksi dan korban, LPSK perlu mengetahui duduk kasus. Namun, di lapangan, ada penyidik yang masih enggan berbagi BAP (berita acara pemeriksaan),” ungkap Edwin.
Dalam fokusnya, kata Edwin, LPSK berkutat pada kasus-kasus prioritas, yakni tindak pidana pelanggaran HAM berat, korupsi, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, narkotika, psikotropika, dan kekerasan seksual anak.
Namun, tidak menutup kemungkinan, ada tindak pidana umum lain yang juga mendapatkan perhatian LPSK dengan syarat, saksi dan korban dalam kasus itu memang benar-benar berada di bawah ancaman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)