Anggota DPR RI Komisi V Fraksi PDIP Damayanti Wisnu Putranti dikawal petugas memasuki Gedung KPK, Jakarta, Senin (18/1/2016).--Foto: MI/Rommy Pujianto
Anggota DPR RI Komisi V Fraksi PDIP Damayanti Wisnu Putranti dikawal petugas memasuki Gedung KPK, Jakarta, Senin (18/1/2016).--Foto: MI/Rommy Pujianto

Amran Disebut `Juri` Jatah Fee Program Aspirasi

Meilikhah • 11 April 2016 13:54
medcom.id, Jakarta: Anggota Komisi V DPR yang ikut dalam program aspirasi pembangunan jalan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Maluku, menerima fee. Tuduhan dilempar Damayanti Wisnu Putranti, tersangka kasus suap proyek pada Kementerian PUPR 2016.
 
Anggota nonaktif Komisi V DPR RI itu menyebutkan, pembagian jatah fee terhadap anggota Komisi V DPR ditentukan Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Mustary.
 
Damayanti mengatakan, yang menentukan nominal fee itu dari kesepakatan Komisi V dan Kementerian PUPR. Tapi secara global penentuan nominal ditentukan oleh Amran. Besarannya pun berbeda-beda, tergantung tingkatan.

"Yang menentukan pak Amran, Kepala Balai. Nilai merupakan hasil nego antara pimpinan Komisi V dan Kementerian PUPR. Sehingga masing-masing anggota dapat jatah maksimal Rp50 (miliar), Kapoksi (kepala kelompok fraksi) maksimal Rp100 (miliar), untuk pimpinan saya kurang tahu," kata Damayanti, saat bersaksi untuk terdakwa Abdul Khoir, di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Senin (11/4/2016).
 
Dia mengatakan, pembicaraan tentang nominal itu terjadi saat pertemuan kedua dari empat pertemuan yang dia lakukan bersama Amran dan beberapa pihak lain, termasuk Abdul Khoir di Hotel Ambhara. Pertemuan pertama, kata dia, belum ada pembicaraan soal program aspirasi maupun besaran anggaran.
 
Pertemuan kedua, lanjut dia, Amran membawa data lebih lengkap tentang daftar nama jalan yang hendak dibangun, namun belum memasukkan judul, kode maupun nominal fee untuk pembangunan. Pada pertemuan ketiga barulah Amran membawa data lebih lengkap, ada nama jalan, kode dan nominal fee yang akan didapatkan anggota Komisi.
 
Dari data itu, Damayanti dapat proyek program pembangunan Jalan Toheru Laemu dengan kode 1-E. Damayanti mengatakan kode tersebut berdasarkan kepemilikan kursi di DPR. Dia mencontohkan untuk PDIP diberi kode 1, Partai Golkar diberi kode 2 dan seterusnya. Sementara huruf E, Damayanti mengaku tak paham maksudnya.
 
"Saya lihat untuk judul saya dapat Jalan Toheru-Laemu. Jatah aspirasi terpecah jadi Rp20 miliar untuk sumber daya alam, Rp21 miliar Bina Marga dan Rp19 miliar Cipta Karya. (Jatah fee) Saya dapat Rp41 miliar di Maluku dan Maluku Utara," kata Damayanti.
 
Selain Damayanti, data yang dibawa Amran juga menyebutkan anggota Komisi V fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto memegang judul rekonstruksi jalan Werinama-Leimu, anggota fraksi PAN Andi Taufan Tiro mendapat proyek pembangunan jalan Jailolo-Mutui, rekonstruksi jalan Wayabuya-Sofi dan jalan Mafa Matuting, serta anggota Komisi V fraksi PKB Musa Zainudin mendapat proyek rekonstruksi jalan Laimu-Werinama, jalan Haya-Toheru, jalan Aruidas-Arma, jalan Toheru-Laimu dan jalan Piru-Waisala.
 
Pada pertemuan ketiga, pengerjaan pembangunan jalan itu diserahkan ke Abdul Khoir selaku pengusaha PT Windhu Tunggal Utama yang akan jadi kontraktor jalan. Sedangkan pada pertemuan keempat, Amran Mustary memerintahkan Abdul Khoir menyelesaikan pembayaran fee kepada anggota Komisi V yang ditunjuk Amran melaksanakan program aspirasi pembangunan jalan.
 
"Amran sampaikan ke Abdul, 'Dul ini untuk judul yang sudah firm kepemilikannya tolong diberesin untuk diserahkan ke masing-masing. Dibayarkan ke masing-masing," kata Damayanti.
 
Sebelumnya, Abdul Khoir didakwa bersama-sama dengan Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng serta Direktur PT Sharlen Raya Hong Artha John Alfred menyuap Amran Mustary dan sejumlah anggota Komisi V yakni, Damayanti Wisnu Putranti, Budi Suprayitno, Andi Taufan Tiro dan Musa Zainuddin dengan total suap Rp21,28 miliar, SGD1,674 juta, dan USD72,7 dalam proyek pembangunan dan rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara.
 
Atas perbuatannya, Abdul didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto. Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan