Suasana sidang praperadilan nur Alam di PN Jaksel -- MTVN/Arga Sumantri
Suasana sidang praperadilan nur Alam di PN Jaksel -- MTVN/Arga Sumantri

Ahli Sebut Penyelidik dan Penyidik Harus dari Polri

Arga sumantri • 10 Oktober 2016 13:29
medcom.id, Jakarta: Sidang lanjutan praperadilan Nur Alam digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Agenda sidang kali ini mendengarkan keterangan ahli dari tim kuasa hukum Nur Alam, guru besar ilmu hukum dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Romli Atmasasmita.
 
Dalam kesaksiannya, Romli memaparkan soal keabsahan status penyelidik dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, seseorang yang ditetapkan sebagai penyelidik maupun penyidik harus berasal dari Polri.
 
"Itu sesuai UU KPK. Sehingga, adanya penyidik independen patut dipertanyakan," kata Romli di ruang sidang utama PN Jakarta Selatan, Senin (10/10/2016).

Hal lain yang menjadi perdebatan adalah penetapa tersangka terhadap Nur Alam tanpa pemeriksaan terlebih dahulu. KPK beralasan, pihaknya sudah melakukan upaya melakukan pemanggilan pemeriksaan terhadap Nur Alam.
 
"Tapi yang bersangkutan seperti menunjukkan itikad buruk," kata anggota tim hukum KPK, Rasamala Aritonang.
 
KPK menetapkan Nur Alam sebagai tersangka pada 23 Agustus 2016. Politikus PAN ini diduga menyalahgunakan wewenang dalam menerbitkan sejumlah surat keputusan (SK) izin usaha pertambangan (IUP).
 
Dokumen bermasalah itu, di antaranya SK persetujuan pencadangan wilayah pertambangan eksplorasi, SK persetujuan IUP eksplorasi, dan SK persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi buat PT Anugrah Harisma Barakah sejak 2009-2014. Perusahaan itu bergerak di penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
 
KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Tak terima dengan penetapan status tersangka dari KPK, Nur Alam mengajukan permohonan praperadilan melalui pengacaranya, Maqdir Ismail.
 
Menurut Maqdir, salah satu yang dipermasalahkan dalam penanganan perkara ini adalah penyelidikan yang dilakukan KPK bersamaan dengan Kejaksaan Agung. Hal ini, kata dia, bertentangan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
 
"Menurut Pasal 6 atau berapa itu ada kewajiban untuk melakukan supervisi kan. Itu kan yang tidak ditempuh oleh KPK. Proses ini kan ada aturan main. Tolonglah aturan main ini dipenuhi oleh KPK, ini yang tidak mereka lakukan," jelas Maqdir pada 20 September 2016.
 
Selain itu, praperadilan diajukan karena penerbitan UIP yang dipersangkakan oleh KPK pernah digugat PT Prima Nusa Sentosa di Peradilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung memutuskan penerbitan IUP tersebut sesuai dengan kewenangan dan prosedur berdasarkan ketentuan Pasal 37 huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
 
KPK juga dianggap belum memperhitungkan kerugian negara dalam menjerat Nur Alam. Sementara itu, hal ini dianggap sebagai elemen pokok dugaan perbuatan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NIN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan