Ilustrasi Medcom.id.
Ilustrasi Medcom.id.

Minim Partisipasi Publik, PP 28/2024 dan Peraturan Teknisnya Tuai Polemik

Eko Nordiansyah • 14 September 2024 13:37
Jakarta: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) menuai banyak polemik. Dua produk regulasi inisiatif Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini dinilai kurang partisipasi publik sehingga peraturan yang dihasilkan menekan berbagai sektor yang turut terdampak.
 
Ahli Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fitriani A. Sjarif menyoroti minimnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan dengan metode omnibus ini. Menurutnya, kebijakan ini tidak sejalan dengan hukum yang sudah ada untuk menjamin partisipasi publik (meaningful participation).
 
“Dalam UU 12/2011, Indonesia menganut penyusunan peraturan dengan metode single subject rule, di mana satu peraturan akan fokus mengatur topik yang sama. Indonesia mulai menerapkan metode omnibus beberapa tahun terakhir, yang diawali dengan penyusunan UU Cipta Kerja,” papar dia dilansir Sabtu, 14 September 2024.

Ia mengungkapkan, Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat (AS) yang lebih dulu menerapkan metode omnibus. Di Negeri Paman Sam ini hanya membolehkan metode omnibus jika peraturan yang disusun memiliki tema yang sama, atau omnibus law dengan pendekatan single subject rule.
 
Salah satu aturan yang tengah dirancang oleh Kemenkes yakni kemasan rokok polos tanpa merek. Draft kebijakan tersebut dinilai paling berpotensi memengaruhi seluruh pelaku industri tembakau. Kekhawatiran utamanya adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal.

Ganggu industri

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyampaikan keprihatinannya atas dampak PP 28/2024 kepada industri.  Shinta menegaskan bahwa kebijakan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan.
 
"Hal serupa berlaku untuk industri hasil tembakau. Regulasi yang terlalu ketat akan mendorong munculnya produk ilegal dan melemahkan industri formal," lanjut dia.
 
Dalam hal industri hasil tembakau (IHT), Shinta juga menyampaikan, kebijakan seperti kemasan polos dan pembatasan kadar tar serta nikotin tidak hanya menekan industri formal tetapi juga meningkatkan risiko peredaran produk ilegal. Menurut dia, pengetatan industri legal ini akan berdampak terhadap kelangsungan mereka.
 
"Kebijakan yang terlalu membatasi, seperti kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang, hanya akan membuka peluang bagi rokok ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai. Sementara itu, industri formal yang mematuhi regulasi justru terancam," tegasnya.
 
Pada kesempatan yang sama, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Roberia memastikan, pihaknya akan menyimak kembali kritik-kritik dari seluruh pihak yang berkaitan dengan proses penyusunan dua regulasi yang tengah menjadi sorotan itu. Ia menyebut, seluruh aspirasi akan ditampung.
 
“Ketika ada warga negara yang dirugikan, kita perlu melihat apakah semua aspeknya terpenuhi. Maka dari itu kami memastikan akan menampung masukan-masukan yang hadir di masyarakat agar regulasi-regulasi yang dibuat pemerintah dapat menjadi manfaat yang luas bagi semua pihak dan kalangan,” tuturnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan