Jakarta: Upaya peninjauan kembali (PK) tak bisa dilepaskan dari kasus yang menimpa Sengkon dan Karta. Mereka adalah dua petani yang dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman dan Siti Haya di Bekasi, Jawa Barat, pada 1974.
"Dua orang yang menjadi terpidana, padahal mereka korban salah tangkap. Tidak bersalah," kata Pakar Hukum Pidana sekaligus Founder Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (DNT Lawyers), Boris Tampubolon, melalui keterangan tertulisnya, Senin, 23 September 2024.
Menurut dia, PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dilakukan. PK bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiel.
Putusan Mahkamah Konstitusi No 34/PUU-XI/2013 menyatakan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Dengan catatan, ditemukan keadaan baru atau novum yang belum diajukan pada peninjauan kembali sebelumnya.
Dalam konteks peradilan pidana, kata Boris, ada proses upaya hukum banding, kasasi, hingga PK. Asumsi hukum di balik adanya proses-proses itu adalah karena memang sangat mungkin pengadilan itu bisa keliru.
"Makanya, ada tingkatan-tingkatan lebih tinggi untuk mengoreksinya. Jadi, PK ini jangan dilihat sebagai sesuatu yang tidak penting. Ini Justru sangat penting," kata dia.
Memperbaiki yang keliru
PK, lanjut Boris, adalah upaya memperbaiki bila ada yang keliru. Agar seluruh penegak hukum juga menunjukkan keadilan dan kebenaran serta perbaikan hukum.
Pasal 263 KUHAP mengatur alasan PK. Meliputi adanya keadaan baru atau fakta baru, (dalam bahasa Latin berarti noviter perventa), adanya putusan bertentangan, dan adanya kekhilafan atau kekeliruan.
Contoh kasus Vina
Boris mencontohkan perkara PK dalam kasus pembunuhan Vina di Cirebon, Jawa Barat. Menurut dia. ada dua alasan hukum yang kuat untuk diajukan PK.
Pertama, alasan adanya keadaan atau fakta baru. Atau biasa disebut novum. "Orang suka keliru
mengartikan novum. Novum suka diartikan sebagai bukti baru. Padahal, novum bukan bukti baru. Tapi keadaan baru, fakta baru," kata dia.
Dia mencontohkan kalau dulu faktanya A, ternyata sekarang terungkap fakta baru B. Maka, itulah yang disebut keadaan baru atau fakta baru.
"Itulah novum yang harus dipertimbangkan oleh Majelis PK Mahkamah Agung," kata dia.
Kedua, alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim. Menurut Boris, kekhilafan dan kekeliruan ini terkait empat hal, yakni fakta; hukumnya atau pasal-pasal yang dituduhkan; mens rea atau niat jahat; dan prosedur hukum acaranya baik dari segi pembuktian, cara memperoleh alat bukti, hingga pelanggaran hukum acara.
Dalam hal kekeliruan hakim ini, dia mencontohkan saksi yang tidak dihadirkan tapi keterangannya malah diambil dari berita acara penangkapan (BAP).
"Harusnya bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian. Jadi, kalau orang dipersalahkan dengan dasar keterangan yang dari BAP itu, maka itu tidak bisa. Dan bila itu terjadi, maka itu kekeliruan nyata," kata Boris.
Jakarta: Upaya peninjauan kembali (PK) tak bisa dilepaskan dari kasus yang menimpa Sengkon dan Karta. Mereka adalah dua petani yang dituduh merampok dan
membunuh pasangan Sulaiman dan Siti Haya di Bekasi, Jawa Barat, pada 1974.
"Dua orang yang menjadi terpidana, padahal mereka korban salah tangkap. Tidak bersalah," kata Pakar Hukum Pidana sekaligus Founder Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (DNT Lawyers), Boris Tampubolon, melalui keterangan tertulisnya, Senin, 23 September 2024.
Menurut dia, PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dilakukan. PK bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiel.
Putusan Mahkamah Konstitusi No 34/PUU-XI/2013 menyatakan permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat diajukan lebih dari satu kali. Dengan catatan, ditemukan keadaan baru atau novum yang belum diajukan pada peninjauan kembali sebelumnya.
Dalam konteks peradilan pidana, kata Boris, ada proses upaya hukum banding, kasasi, hingga PK. Asumsi hukum di balik adanya proses-proses itu adalah karena memang sangat mungkin pengadilan itu bisa keliru.
"Makanya, ada tingkatan-tingkatan lebih tinggi untuk mengoreksinya. Jadi, PK ini jangan dilihat sebagai sesuatu yang tidak penting. Ini Justru sangat penting," kata dia.
Memperbaiki yang keliru
PK, lanjut Boris, adalah upaya memperbaiki bila ada yang keliru. Agar seluruh penegak hukum juga menunjukkan keadilan dan kebenaran serta perbaikan hukum.
Pasal 263 KUHAP mengatur alasan PK. Meliputi adanya keadaan baru atau fakta baru, (dalam bahasa Latin berarti
noviter perventa), adanya putusan bertentangan, dan adanya kekhilafan atau kekeliruan.
Contoh kasus Vina
Boris mencontohkan perkara PK dalam kasus pembunuhan Vina di Cirebon, Jawa Barat. Menurut dia. ada dua alasan hukum yang kuat untuk diajukan PK.
Pertama, alasan adanya keadaan atau fakta baru. Atau biasa disebut novum. "Orang suka keliru
mengartikan novum. Novum suka diartikan sebagai bukti baru. Padahal, novum bukan bukti baru. Tapi keadaan baru, fakta baru," kata dia.
Dia mencontohkan kalau dulu faktanya A, ternyata sekarang terungkap fakta baru B. Maka, itulah yang disebut keadaan baru atau fakta baru.
"Itulah novum yang harus dipertimbangkan oleh Majelis PK Mahkamah Agung," kata dia.
Kedua, alasan adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim. Menurut Boris, kekhilafan dan kekeliruan ini terkait empat hal, yakni fakta; hukumnya atau pasal-pasal yang dituduhkan;
mens rea atau niat jahat; dan prosedur hukum acaranya baik dari segi pembuktian, cara memperoleh alat bukti, hingga pelanggaran hukum acara.
Dalam hal kekeliruan hakim ini, dia mencontohkan saksi yang tidak dihadirkan tapi keterangannya malah diambil dari berita acara penangkapan (BAP).
"Harusnya bukti tersebut tidak punya nilai pembuktian. Jadi, kalau orang dipersalahkan dengan dasar keterangan yang dari BAP itu, maka itu tidak bisa. Dan bila itu terjadi, maka itu kekeliruan nyata," kata Boris.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)