Kepala Balai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Amran HI Mustary berjalan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (26/1). Foto: Antara/Reno Esnir
Kepala Balai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Amran HI Mustary berjalan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (26/1). Foto: Antara/Reno Esnir

Amran Sebut tak Pernah Terima Rp8 Miliar dari Abdul Khoir

Damar Iradat • 18 April 2016 16:34
medcom.id, Jakarta: Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Amran HI Mustary mengaku tidak pernah menerima uang sejumlah Rp8 miliar dari Abdul Khoir. Abdul merupakan terdakwa kasus suap untuk mengamankan proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara.
 
Amran mengakui di persidangan saat diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Abdul Khoir. Ia mengatakan tidak pernah sekali pun meminta uang dana aspirasi kepada Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama itu.
 
"Saya tidak pernah (menerima uang Rp8 miliar)," kata Amran di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016).

Dalam kesempatan itu, Amran juga mengakui sempat menerima sekitar 20-an anggota Komisi V DPR RI yang melaksanakan kunjungan kerja ke Maluku. Di antaranya tersangka Damayanti Wisnu Putranti dan Wakil Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Yudi Widiana.
 
Ia mengatakan, sempat ada beberapa pertemuan dengan Damayanti dan Abdul di Maluku. Pertemuan pertama terjadi di Kantor Gubernur Maluku.
 
Pada pertemuan itu, Amran menyebut sempat ada perbincangan soal dana aspirasi untuk Maluku. Namun, itu baru sebatas program.
 
"Kami sampaikan secara umum, kalau Maluku dan Maluku Utara butuh dana, kalau ada, ya kami merasa gembira," tutur dia.
 
Amran mengatakan, program di Maluku juga cukup banyak, ada sekitar 147 item pekerjaan. Seluruh program itu bernilai hingga Rp2,9 triliun hanya untuk proyek jalan dan jembatan.
 
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum mendakwa Abdul Khoir dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
 
Pasal itu berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban.
 
Jaksa menyebut suap kepada Damayanti, beberapa anggota Komisi V, dan Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara sudah beberapa kali.
 
Abdul memerintahkan anak buahnya, Erwantoro, menyiapkan uang USD328 ribu atau setara Rp3,2 miliar, lalu diserahkan ke Damayanti melalui Dessy Ariyati dan Julia Prasetyarini. Dessy dan Julia mendapat komisi SGD40 ribu dari Damayanti.
 
Desi dan Julia merupakan asisten Damayanti. Untuk memastikan proyek benar-benar dikuasai, Abdul kembali menyuap Damayanti melalui Dessy Rp1 miliar dengan uang pecahan dolar Amerika Serikat.
 
Damayanti kemudian meminta Julia menukarkan uang suap kedua itu dengan pecahan rupiah.
 
Dari uang tersebut, Damayanti memberikan Rp300 juta kepada Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dan mantan calon kepala daerah Kendal Widya Kandi Susanti dan Mohamad Hilmi sebanyak Rp300 juta. Sisa Rp400 juta digunakan Damayanti, sedangkan Rp200 juta dibagikan sama rata ke Dessy dan Julia.
 
Secara berturut-turut, Abdul menyuap anggota Komisi V lainnya dan Amran HI Mustary dengan jumlah seluruhnya Rp21,8 miliar, SGD1,6 juta, dan USD72,7 ribu untuk meloloskan proyek tersebut.
 
Abdul meminjam uang kepada Aseng sejumlah Rp1,5 miliar dan Hong Arta John Alfred sebesar Rp1 miliar untuk menutupi kekurangan uang suap agar proyek dari program aspirasi Damayanti di Maluku jatuh ke tangan Abdul Khoir.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan