Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK).
"Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Juni 2018.
Perkara No.16/PUU-XVI/2018 tersebut, menggugat pasal-pasal kontroversial. Sebanyak tiga pasal yang dikabulkan untuk tidak lanjutkan.
Adapun pasal yang dimaksud yakni Pasal 73 ayat (3), (4), (5), (6) tentang mekanisme pemanggilan paksa setiap orang yang mangkir dari pemanggilan DPR.
Kemudian Pasal 122 huruf l mengenai langkah hukum dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap penghina kehormatan anggota dan kelembagaan DPR. Lalu, Pasal 245 ayat (1) terkait pemeriksaan wakil rakyat yang didahului pertimbangan Mahkamah Kehormatan DPR sebelum disetujui secara tertulis dari Presiden.
Pemohon dari FKHK Irmanputra Sidin mengaku lega dengan putusan MK. Dia bilang putusan tersebut sebagai momentum untuk mengembalikan DPR sebagai institusi perwakilan rakyat.
"Polemik ini jadi isu nasional yang sangat kontroversial karena DPR seolah-olah membangun posisi yang berhadapan dengan rakyat dan mengimunitaskan dirinya," ujar Irman.
Irman mengatakan panggilan paksa yang dilakukan pada DPR terhadap warga negara tidak boleh menyalahi konsitusi.
Persetujuan presiden terhadap anggota DPR yang melakukan pemanggilan tentu harus sesuai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai anggota DPR.
"Ini putusan MK mengabulkan permohonan dalil-dalil kami yang selama ini kami jahit, tenun selama persidangan itu dikabulkan MK," pungkas Irman.
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK).
"Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Juni 2018.
Perkara No.16/PUU-XVI/2018 tersebut, menggugat pasal-pasal kontroversial. Sebanyak tiga pasal yang dikabulkan untuk tidak lanjutkan.
Adapun pasal yang dimaksud yakni Pasal 73 ayat (3), (4), (5), (6) tentang mekanisme pemanggilan paksa setiap orang yang mangkir dari pemanggilan DPR.
Kemudian Pasal 122 huruf l mengenai langkah hukum dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terhadap penghina kehormatan anggota dan kelembagaan DPR. Lalu, Pasal 245 ayat (1) terkait pemeriksaan wakil rakyat yang didahului pertimbangan Mahkamah Kehormatan DPR sebelum disetujui secara tertulis dari Presiden.
Pemohon dari FKHK Irmanputra Sidin mengaku lega dengan putusan MK. Dia bilang putusan tersebut sebagai momentum untuk mengembalikan DPR sebagai institusi perwakilan rakyat.
"Polemik ini jadi isu nasional yang sangat kontroversial karena DPR seolah-olah membangun posisi yang berhadapan dengan rakyat dan mengimunitaskan dirinya," ujar Irman.
Irman mengatakan panggilan paksa yang dilakukan pada DPR terhadap warga negara tidak boleh menyalahi konsitusi.
Persetujuan presiden terhadap anggota DPR yang melakukan pemanggilan tentu harus sesuai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai anggota DPR.
"Ini putusan MK mengabulkan permohonan dalil-dalil kami yang selama ini kami jahit, tenun selama persidangan itu dikabulkan MK," pungkas Irman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SCI)