Jakarta: seorang advokat bernama Mohamad Ansyariyanto Taliki menggugat Pasal 299 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia mempersoalkan beleid yang mengatur cuti kampanye presiden dan wakil presiden itu karena tidak ada transparansi.
Perkara Nomor 37/PUU-XXII/2024 ini diajukan. Ia menguji Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu yang menyatakan 'Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye'.
Menurut dia, selama ini tidak ada kejelasan informasi soal cuti kampanye presiden dan wakil presiden. Bisa saja cuti hanya klaim, namun ternyata sedang kampanye menggunakan fasilitas negara. Kondisi itu dinilai tak benar karena tidak terdapat informasi atau pengumuman masa cuti ke publik.
"Pemohon menilai perlu bagi presiden wakil presiden untuk melakukan hal tersebut demi tercapainya prinsip keterbukaan informasi publik," kata Ansyariyanto di ruang sidang MK, Senin, 18 Maret 2024.
Ansyariyanto memohon MK menyatakan Pasal 299 ayat (1) UU 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu pemohon juga mengatakan pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye dengan proses cuti yang diumumkan di publik dalam stasiun televisi nasional.
"Presiden dan wakil presiden harusnya bisa memposisikan dirinya sendiri untuk secara tidak langsung mempengaruhi pemilih dalam statusnya sebagai kepala negara," kata dia.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan Pemohon dapat menguraikan legal standing mengingat permohonan sejenis pernah diputus oleh MK pada Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU V/2011.
"Sehingga pemohon dapat mengembangkan analisis terhadap kedudukan hukumnya serta mekanisme cuti kampanye yang dimaksudkan yang mempengaruhi hak pilih para pemilih tersebut," kata Ridwan.
Kemudian Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan pemohon harus bisa membangun argumentasi yang kuat untuk membantah putusan terdahulu. Selain itu, Ansyariyanto perlu menambahkan perbandingan dengan keberlakuan aturan di negara-negara lainnya.
"Sehingga dalam permohonan ini ada perbedaan batu uji atau alasan yang berbeda. Jadi harus bangun argumentasi yang kuat," kata Daniel Yusmic.
Jakarta: seorang advokat bernama Mohamad Ansyariyanto Taliki menggugat Pasal 299 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Ia mempersoalkan beleid yang mengatur cuti kampanye presiden dan wakil presiden itu karena tidak ada transparansi.
Perkara Nomor 37/PUU-XXII/2024 ini diajukan. Ia menguji Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu yang menyatakan 'Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye'.
Menurut dia, selama ini tidak ada kejelasan informasi soal cuti kampanye presiden dan wakil presiden. Bisa saja cuti hanya klaim, namun ternyata sedang kampanye menggunakan fasilitas negara. Kondisi itu dinilai tak benar karena tidak terdapat informasi atau pengumuman masa cuti ke publik.
"Pemohon menilai perlu bagi presiden wakil presiden untuk melakukan hal tersebut demi tercapainya prinsip keterbukaan informasi publik," kata Ansyariyanto di ruang sidang MK, Senin, 18 Maret 2024.
Ansyariyanto memohon
MK menyatakan Pasal 299 ayat (1) UU 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu pemohon juga mengatakan pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye dengan proses cuti yang diumumkan di publik dalam stasiun televisi nasional.
"Presiden dan wakil presiden harusnya bisa memposisikan dirinya sendiri untuk secara tidak langsung mempengaruhi pemilih dalam statusnya sebagai kepala negara," kata dia.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan Pemohon dapat menguraikan legal standing mengingat permohonan sejenis pernah diputus oleh MK pada Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU V/2011.
"Sehingga pemohon dapat mengembangkan analisis terhadap kedudukan hukumnya serta mekanisme cuti kampanye yang dimaksudkan yang mempengaruhi hak pilih para pemilih tersebut," kata Ridwan.
Kemudian
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan pemohon harus bisa membangun argumentasi yang kuat untuk membantah putusan terdahulu. Selain itu, Ansyariyanto perlu menambahkan perbandingan dengan keberlakuan aturan di negara-negara lainnya.
"Sehingga dalam permohonan ini ada perbedaan batu uji atau alasan yang berbeda. Jadi harus bangun argumentasi yang kuat," kata Daniel Yusmic.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)