medcom.id, Jakarta: Kabid Humas Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono menegaskan, pengusutan kasus yang menjerat Buni Yani sesuai koridor hukum. Argo membantah, pemeriksaan Buni Yani sebagai tersangka telah menyalahi aturan.
Menurut Argo, polisi tetap berhak memeriksa Buni Yani meski batas 14 hari pengembalian berkas ke Kejaksaan sudah lewat.
"Enggak ada ya (menyalahi aturan), hanya ada satu pertanyaan yang ingin ditanyakan untuk Buni Yani," kata Argo kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (9/1/2017).
Berkas kasus Buni Yani sebelumnya telah dikembalikan Kejaksaan Tinggi DKI ke penyidik Polda Metro Jaya pada 19 Desember 2016, Kejaksaan menilai berkasi itu kurang lengkap. Hingga saat ini penyidik belum melimpahkan kembali berkas tersebut ke Kejaksaan.
Pihak Buni Yani mempertanyakan kelengkapan berkas yang telah melewati batas 14 hari tersebut. Namun, menurut Argo, pihaknya berusaha melengkapi berkas kasus tersebut.
"Kita tetap memperbaiki apa yang JPU berikan untuk perbaikan berkas. Kita akan kirim kembali ke Kejaksaan," ujar Argo.
Buni Yani merupakan pengunggah potongan video pidato Gubernur nonaktif Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama ketika memberikan sambutan yang mengutip surat Al-Maidah 51 di Kepulauan Seribu, September lalu. Buni juga mentranskrip omongan Ahok melalui video berdurasi setengah menit.
Dalam transkripan, ada kata yang dihilangkan Buni. Hal itu diduga menyebabkan pro kontra di kalangan netizen.
Buni lalu dilaporkan Komunitas Muda Ahok Djarot (Kotak Adja) ke Polda Metro Jaya. Ketua Kotak Adja, Muannas Alaidid, berpendapat Buni memprovokasi masyarakat melalui unggahan ulang video pidato Ahok.
Buni ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Ia diancam hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/eN47DzWK" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Kabid Humas Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono menegaskan, pengusutan kasus yang menjerat Buni Yani sesuai koridor hukum. Argo membantah, pemeriksaan Buni Yani sebagai tersangka telah menyalahi aturan.
Menurut Argo, polisi tetap berhak memeriksa Buni Yani meski batas 14 hari pengembalian berkas ke Kejaksaan sudah lewat.
"Enggak ada ya (menyalahi aturan), hanya ada satu pertanyaan yang ingin ditanyakan untuk Buni Yani," kata Argo kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (9/1/2017).
Berkas kasus Buni Yani sebelumnya telah dikembalikan Kejaksaan Tinggi DKI ke penyidik Polda Metro Jaya pada 19 Desember 2016, Kejaksaan menilai berkasi itu kurang lengkap. Hingga saat ini penyidik belum melimpahkan kembali berkas tersebut ke Kejaksaan.
Pihak Buni Yani mempertanyakan kelengkapan berkas yang telah melewati batas 14 hari tersebut. Namun, menurut Argo, pihaknya berusaha melengkapi berkas kasus tersebut.
"Kita tetap memperbaiki apa yang JPU berikan untuk perbaikan berkas. Kita akan kirim kembali ke Kejaksaan," ujar Argo.
Buni Yani merupakan pengunggah potongan video pidato Gubernur nonaktif Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama ketika memberikan sambutan yang mengutip surat Al-Maidah 51 di Kepulauan Seribu, September lalu. Buni juga mentranskrip omongan Ahok melalui video berdurasi setengah menit.
Dalam transkripan, ada kata yang dihilangkan Buni. Hal itu diduga menyebabkan pro kontra di kalangan netizen.
Buni lalu dilaporkan Komunitas Muda Ahok Djarot (Kotak Adja) ke Polda Metro Jaya. Ketua Kotak Adja, Muannas Alaidid, berpendapat Buni memprovokasi masyarakat melalui unggahan ulang video pidato Ahok.
Buni ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Ia diancam hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FZN)