Jakarta: Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) akhirnya dibahas tahun ini. Ada beberapa pasal krusial dalam beleid yang diusulkan Fraksi NasDem tersebut.
Pertama, Pasal 1 ayat 1 yang berkaitan dengan ketentuan umum tentang definisi hasrat seksual. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menyampaikan penjelasan hasrat harus diperjelas agar tidak bias.
"Itu benar-benar harus mampu kita definisikan secara lebih arif, bijaksana, dan tepat," kata Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 17 Maret 2021.
Kedua, Pasal 12 tentang pelecehan fisik dan nonfisik. Pasal ini juga bakal mengatur kontrol sosial dan lainnya. Sebab, selama ini pasangan berzina selalu mendapat perlakuan tidak mengenakan dari masyarakat.
"Kalau ketahuan zina atau ketahuan serong itu ditelanjangi dibawa keliling kampung. Ini apa tidak ada yang lebih beradab?" ujar dia.
(Baca: Baleg Ancang-ancang Bentuk Panja RUU PKS)
Ketiga, berkaitan dengan aborsi di Pasal 15. Ketentuan ini harus dibahas secara komprehensif agar tidak dianggap sebagai pintu masuk melegalkan aborsi.
"Nah, ini harus kita diskusikan, bagaimana ini (abrosi) bentuknya seperti apa?" ujar dia.
Regulasi juga mengatur kawin paksa yang tercantum di Pasal 17. Hal ini mengemuka karena Indonesia memiliki pengalaman kawin paksa.
"Kita ini dari Minangkabau pasti ada narasi Siti Nurbaya, itu kan kawin paksa," ujar dia.
Selanjutnya, Pasal 18 yang mengatur pemaksaan pelacuran. Dia menyebut ketentuan ini mendapat pro dan kontra karena dianggap mengakui prostitusi.
"Ini logika berpikir saja, jadi teman-teman di Baleg yang menolak mengatakan, kalau pemaksaan pelacuran artinya ini sepakat dengan legalisasi prostitusi," kata dia.
Willy menegaskan RUU PKS dapat meletakkan secara jelas antara domain privat dan domain publik. Sebab, banyak kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga.
"Nah, negara harus bisa mengatur yang namanya public domain, masa negara mau turut serta dalam ranjang? Kan narasi yang berkembang di publik seperti itu," ujar dia.
Jakarta: Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (
RUU PKS) akhirnya dibahas tahun ini. Ada beberapa pasal krusial dalam beleid yang diusulkan
Fraksi NasDem tersebut.
Pertama, Pasal 1 ayat 1 yang berkaitan dengan ketentuan umum tentang definisi hasrat seksual. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya menyampaikan penjelasan hasrat harus diperjelas agar tidak bias.
"Itu benar-benar harus mampu kita definisikan secara lebih arif, bijaksana, dan tepat," kata Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 17 Maret 2021.
Kedua, Pasal 12 tentang pelecehan fisik dan nonfisik. Pasal ini juga bakal mengatur kontrol sosial dan lainnya. Sebab, selama ini pasangan berzina selalu mendapat perlakuan tidak mengenakan dari masyarakat.
"Kalau ketahuan zina atau ketahuan serong itu ditelanjangi dibawa keliling kampung. Ini apa tidak ada yang lebih beradab?" ujar dia.
(Baca:
Baleg Ancang-ancang Bentuk Panja RUU PKS)
Ketiga, berkaitan dengan aborsi di Pasal 15. Ketentuan ini harus dibahas secara komprehensif agar tidak dianggap sebagai pintu masuk melegalkan aborsi.
"Nah, ini harus kita diskusikan, bagaimana ini (abrosi) bentuknya seperti apa?" ujar dia.
Regulasi juga mengatur kawin paksa yang tercantum di Pasal 17. Hal ini mengemuka karena Indonesia memiliki pengalaman kawin paksa.
"Kita ini dari Minangkabau pasti ada narasi Siti Nurbaya, itu kan kawin paksa," ujar dia.
Selanjutnya, Pasal 18 yang mengatur pemaksaan pelacuran. Dia menyebut ketentuan ini mendapat pro dan kontra karena dianggap mengakui prostitusi.
"Ini logika berpikir saja, jadi teman-teman di Baleg yang menolak mengatakan, kalau pemaksaan pelacuran artinya ini sepakat dengan legalisasi prostitusi," kata dia.
Willy menegaskan RUU PKS dapat meletakkan secara jelas antara domain privat dan domain publik. Sebab, banyak kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga.
"Nah, negara harus bisa mengatur yang namanya
public domain, masa negara mau turut serta dalam ranjang? Kan narasi yang berkembang di publik seperti itu," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)