Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada pihak lain yang menerima uang haram untuk melegalkan izin usaha benih lobster. Kuat dugaan Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito selaku tersangka tak hanya menyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Dugaan ini menguat dari pemeriksaan Suharjito pada Jumat, 15 Januari 2021. Penyidik mendalami beberapa aliran uang haram dari PT DPP ke sejumlah orang di beberapa wilayah Indonesia untuk melancarkan izin usahanya.
"Didalami adanya dugaan pemberian sejumlah uang kepada pihak-pihak tertentu di beberapa wilayah di Indonesia untuk memperlancar usaha saksi sebagai eksportir benur," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Sabtu, 16 Januari 2021.
Kendati begitu, Ali tak menyebut siapa saja yang menerima uang rasuah itu. Lokasinya pun dirahasiakan.
Namun, KPK belakangan memanggil beberapa pejabat di daerah Bengkulu. Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dan Bupati Kaur, Bengkulu, Gusril Pausi pernah dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Suharjito dalam kasus ini.
Baca: KPK Telusuri Dugaan Pembagian Mobil dari Edhy Prabowo
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada pihak lain yang menerima uang haram untuk melegalkan izin usaha benih lobster. Kuat dugaan Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito selaku tersangka tak hanya menyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo.
Dugaan ini menguat dari pemeriksaan Suharjito pada Jumat, 15 Januari 2021. Penyidik mendalami beberapa aliran uang haram dari PT DPP ke sejumlah orang di beberapa wilayah Indonesia untuk melancarkan izin usahanya.
"Didalami adanya dugaan pemberian sejumlah uang kepada pihak-pihak tertentu di beberapa wilayah di Indonesia untuk memperlancar usaha saksi sebagai eksportir benur," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Sabtu, 16 Januari 2021.
Kendati begitu, Ali tak menyebut siapa saja yang menerima uang rasuah itu. Lokasinya pun dirahasiakan.
Namun,
KPK belakangan memanggil beberapa pejabat di daerah Bengkulu. Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dan Bupati Kaur, Bengkulu, Gusril Pausi pernah dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Suharjito dalam kasus ini.
Baca:
KPK Telusuri Dugaan Pembagian Mobil dari Edhy Prabowo
Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya. Sebanyak enam tersangka diduga menerima suap. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri KP Ainul Faqih, Amiril Mukminin, serta Edhy Prabowo.
Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Diduga, ada
monopoli yang dilakukan KKP dalam kasus ini. Sebab ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)