Jakarta: Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak majelis hakim yang mengadili perkara korupsi agar mulai mempertimbangkan mencabut hak mendapatkan remisi bagi para terdakwa korupsi. Hakim biasanya hanya menjatuhkan vonis tambahan berupa pencabutan hak politik.
Hal itu disampaikan Boyamin menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Pemberian remisi untuk koruptor kini tidak dibarengi dengan syarat yang ketat.
Dorongan itu juga perlu dukungan dari jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Proses ini juga yang kita tunggu untuk hakim bisa mencabut hak remisi terdakwa korupsi pada saat memutuskan hukuman penjara. Selain dicabut hak politik," kata Boyamin saat dihubungi Media Indonesia, Senin, 1 November 2021.
Majelis hakim juga diharapkan memberikan putusan hukuman tinggi. Jika nantinya ada remisi, terdakwa kasus korupsi tetap menjalani hukuman berat agar menimbulkan efek jera.
"Sekarang ini juga sudah lebih baik pada posisi sekarang, Jaksa Agung (ST Burhanuddin) telah memberikan tuntutan korupsi itu di atas level 15 tahun, KPK juga harus menuntut di atas 15 tahun. Misalnya nanti ada remisi tetap pada posisi dapat hukuman yang panjang kalau memang orangnya dianggap nakal dan perlu ada pemberatan-pemberatan," kata Boyamin.
Baca: Pemberian Remisi Koruptor Diharap Tidak Serampangan
MAKI mendorong pemerintah dan DPR membuat undang-undang (UU) yang mengatur pengetatan remisi pada koruptor agar ada efek jera. Boyamin mengatakan remisi terhadap koruptor menjadi dilema sejak lama. Sebab, UU menyebutkan setiap narapidana berhak mendapatkan remisi.
"Jadi harus diputuskan oleh pemerintah dan DPR sebagai produk sebuah undang-undang, bukan di peraturan pemerintah. Karena UU mengatakan itu hak semua napi, tapi peraturan pemerintah kemudian membatasi. Memang menjadi seperti mengurangi haknya yang diatur undang-undang," ujar Boyamin.
Jakarta: Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak
majelis hakim yang mengadili perkara
korupsi agar mulai mempertimbangkan mencabut hak mendapatkan remisi bagi para terdakwa korupsi. Hakim biasanya hanya menjatuhkan vonis tambahan berupa pencabutan hak politik.
Hal itu disampaikan Boyamin menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Pemberian
remisi untuk koruptor kini tidak dibarengi dengan syarat yang ketat.
Dorongan itu juga perlu dukungan dari jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Proses ini juga yang kita tunggu untuk hakim bisa mencabut hak remisi terdakwa korupsi pada saat memutuskan hukuman penjara. Selain dicabut hak politik," kata Boyamin saat dihubungi
Media Indonesia, Senin, 1 November 2021.
Majelis hakim juga diharapkan memberikan putusan hukuman tinggi. Jika nantinya ada remisi, terdakwa kasus korupsi tetap menjalani hukuman berat agar menimbulkan efek jera.
"Sekarang ini juga sudah lebih baik pada posisi sekarang, Jaksa Agung (ST Burhanuddin) telah memberikan tuntutan korupsi itu di atas level 15 tahun, KPK juga harus menuntut di atas 15 tahun. Misalnya nanti ada remisi tetap pada posisi dapat hukuman yang panjang kalau memang orangnya dianggap nakal dan perlu ada pemberatan-pemberatan," kata Boyamin.
Baca:
Pemberian Remisi Koruptor Diharap Tidak Serampangan
MAKI mendorong pemerintah dan DPR membuat undang-undang (UU) yang mengatur pengetatan remisi pada koruptor agar ada efek jera. Boyamin mengatakan remisi terhadap koruptor menjadi dilema sejak lama. Sebab, UU menyebutkan setiap narapidana berhak mendapatkan remisi.
"Jadi harus diputuskan oleh pemerintah dan DPR sebagai produk sebuah undang-undang, bukan di peraturan pemerintah. Karena UU mengatakan itu hak semua napi, tapi peraturan pemerintah kemudian membatasi. Memang menjadi seperti mengurangi haknya yang diatur undang-undang," ujar Boyamin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)