Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menjelaskan, anak-anak yang melakukan tindak pidana terorisme dianggap sebagai korban dari keluarga yang berideologi ekstrim. Hal tersebut menyusul maraknya keterlibatan anak dalam kasus terorisme belakangan ini.
"Makanya anak kena pidana terorisme tidak dapat diproses secara utuh, oleh karena itu ini harus menjadi perhatian pemerintah," ujar Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum Kementerian PPPA Hasan, di Kawasan Merdeka Barata, Jakarta Pusat, Jumat, 29 Maret 2019.
Lingkungan sekitar ataupun masyarakat secara tidak langsung akan melakukan pelabelan terhadap anak-anak yang terjerumus dalam kasus terorisme. Akhirnya anak tersebut tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
"Di Sumatera Utara ada anak-anak yang terkena dampaknya, dia dikeluarkan dari sekolah, ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk (anak terlibat terorisme) dapat diterima kembali ke masyarakat," tuturnya.
Masyarakat juga diimbau untuk tidak memberi stiga negatif terhadap anak dari korban aksi terorisme, anak yang diduga melakukan terorisme, anak saksi, dan anak dari tersangka terorisme. Masyarakat harus dapat menerima kembali anak-anak tersebut dengan komunikasi yang intensif.
"Kementerian PPPA akan memberikan edukasi berupa pemahaman kepada masyarakat bahwa anak pelaku sebenarnya korban dan memastikan kepada masyarakat bahwa (anak tersebut) sudah dibina dengan baik dan sudah siap untuk dikembalikan ke masyarakat," tuturnya.
Lebih lanjut, Hasan menyebut, anak yang terpapar dari ajaran terorisme terlihat dari pemikiran yang tidak dapat mengharangi perbedaan dari agama lain. Menurutnya, anak itu akan cenderung berbicara mengenai jihad hingga tidak dapat menerima perbedaan.
Baca: Radikalisme Subur karena Anak Kurang Keteladanan
Pasalnya, pelaku dari terorisme ini memiliki pandangan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang kurang tepat. Lantaran masih terjadi kesenjangan antara miskin dan kaya.
"Mereka ingin punya paham yang ekslusif, dia tidak pingin ada perbedaan, anak-anaknya dipengaruhi, ajaran agama diputarbalikkan dari ajaran agama yang sesuai," pungkasnya.
Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menjelaskan, anak-anak yang melakukan tindak pidana terorisme dianggap sebagai korban dari keluarga yang berideologi ekstrim. Hal tersebut menyusul maraknya keterlibatan anak dalam kasus terorisme belakangan ini.
"Makanya anak kena pidana terorisme tidak dapat diproses secara utuh, oleh karena itu ini harus menjadi perhatian pemerintah," ujar Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum Kementerian PPPA Hasan, di Kawasan Merdeka Barata, Jakarta Pusat, Jumat, 29 Maret 2019.
Lingkungan sekitar ataupun masyarakat secara tidak langsung akan melakukan pelabelan terhadap anak-anak yang terjerumus dalam kasus terorisme. Akhirnya anak tersebut tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
"Di Sumatera Utara ada anak-anak yang terkena dampaknya, dia dikeluarkan dari sekolah, ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk (anak terlibat terorisme) dapat diterima kembali ke masyarakat," tuturnya.
Masyarakat juga diimbau untuk tidak memberi stiga negatif terhadap anak dari korban aksi terorisme, anak yang diduga melakukan terorisme, anak saksi, dan anak dari tersangka terorisme. Masyarakat harus dapat menerima kembali anak-anak tersebut dengan komunikasi yang intensif.
"Kementerian PPPA akan memberikan edukasi berupa pemahaman kepada masyarakat bahwa anak pelaku sebenarnya korban dan memastikan kepada masyarakat bahwa (anak tersebut) sudah dibina dengan baik dan sudah siap untuk dikembalikan ke masyarakat," tuturnya.
Lebih lanjut, Hasan menyebut, anak yang terpapar dari ajaran terorisme terlihat dari pemikiran yang tidak dapat mengharangi perbedaan dari agama lain. Menurutnya, anak itu akan cenderung berbicara mengenai jihad hingga tidak dapat menerima perbedaan.
Baca: Radikalisme Subur karena Anak Kurang Keteladanan
Pasalnya, pelaku dari terorisme ini memiliki pandangan bahwa Pancasila merupakan ideologi yang kurang tepat. Lantaran masih terjadi kesenjangan antara miskin dan kaya.
"Mereka ingin punya paham yang ekslusif, dia tidak pingin ada perbedaan, anak-anaknya dipengaruhi, ajaran agama diputarbalikkan dari ajaran agama yang sesuai," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(DMR)