Jakarta: Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut pengembalian uang di kasus tindak pidana rasuah tidak bisa mengartikan konsep restorative justice bisa dijalankan. Pasalnya, pengembalian duit tidak menghapus tindak pidana.
"Bukan hanya dapat tidak menghapus pidana itu tidak agak tengah-tengah, ini jelas kok tidak menghapus pidana berarti tetap harus dipidana meskipun sudah mengembalikan uangnya," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangan tertulis, Senin, 31 Oktober 2022.
Boyamin mengatakan ketegasan pidana itu diatur dalam Pasal 4 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Beleid itu menegaskan pengembalian uang tidak mengartikan pengusutan kasus korupsi harus disetop.
Boyamin juga mengatakan pengembalian uang tidak bisa membuat restorative justice diterapkan karena tindakan korupsi bukanlah pencurian. Menurutnya, pelanggaran pidana dalam tindakan rasuah yakni penyelewengan jabatan.
"Korupsi kan dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau perbuatan melawan hukum, berarti sudah sengaja. Jadi kalau sudah sengaja sejak awal maka yang berlaku ya tetap Pasal 4 itu di mana pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana," ujar Boyamin.
MAKI juga menyebut pengembalian uang yang bisa membebaskan dari pidana cuma jika adanya kesalahan prosedur dalam penyelenggaraan program maupun proyek. Itu pun, kata Boyamin, ada batas waktu maksimal pengembalian uangnya.
"Misalnya belum ada kuitansinya, kuitansinya hilang yaudah kembalikan saja dalam jangka waktu 60 hari," ucap Boyamin.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengakui bahwa pihaknya tengah mengkaji restorative justice pada perkara korupsi. Sebab, hal itu dinilai merupakan masukkan dari publik.
"Sampai saat ini kami masih melakukan kajian tentang penerapan restorative justice pada tindak pidana korupsi," ucap Ghufron melalui keterangan tertulis.
Namun, dia belum yakin menerapkan restorative justice untuk penyelesaian kasus tindak pidana rasuah. Sebab, perkara korupsi berbeda dengan tindak pidana umum dan banyak hal yang perlu diperhatikan.
"Pertanyaannya, kalau kejahatannya bersifat mencederai kepentingan publik seperti tindak pidana korupsi misal suap, di mana seharusnya pemimpin bekerja untuk publik tapi tidak (dia lakukan, itu) bagaimana? Keadilan di hadapan publik itu bagaimana me-restore-nya?" ucap Ghufron.
Jakarta: Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyebut pengembalian uang di kasus tindak pidana
rasuah tidak bisa mengartikan konsep
restorative justice bisa dijalankan. Pasalnya, pengembalian duit tidak menghapus tindak pidana.
"Bukan hanya dapat tidak menghapus
pidana itu tidak agak tengah-tengah, ini jelas kok tidak menghapus pidana berarti tetap harus dipidana meskipun sudah mengembalikan uangnya," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman melalui keterangan tertulis, Senin, 31 Oktober 2022.
Boyamin mengatakan ketegasan pidana itu diatur dalam Pasal 4 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Beleid itu menegaskan pengembalian uang tidak mengartikan pengusutan kasus korupsi harus disetop.
Boyamin juga mengatakan pengembalian uang tidak bisa membuat
restorative justice diterapkan karena tindakan korupsi bukanlah pencurian. Menurutnya, pelanggaran pidana dalam tindakan rasuah yakni penyelewengan jabatan.
"Korupsi kan dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau perbuatan melawan hukum, berarti sudah sengaja. Jadi kalau sudah sengaja sejak awal maka yang berlaku ya tetap Pasal 4 itu di mana pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana," ujar Boyamin.
MAKI juga menyebut pengembalian uang yang bisa membebaskan dari pidana cuma jika adanya kesalahan prosedur dalam penyelenggaraan program maupun proyek. Itu pun, kata Boyamin, ada batas waktu maksimal pengembalian uangnya.
"Misalnya belum ada kuitansinya, kuitansinya hilang yaudah kembalikan saja dalam jangka waktu 60 hari," ucap Boyamin.
Wakil Ketua
KPK Nurul Ghufron mengakui bahwa pihaknya tengah mengkaji
restorative justice pada perkara korupsi. Sebab, hal itu dinilai merupakan masukkan dari publik.
"Sampai saat ini kami masih melakukan kajian tentang penerapan
restorative justice pada tindak pidana korupsi," ucap Ghufron melalui keterangan tertulis.
Namun, dia belum yakin menerapkan
restorative justice untuk penyelesaian kasus tindak pidana rasuah. Sebab, perkara korupsi berbeda dengan tindak pidana umum dan banyak hal yang perlu diperhatikan.
"Pertanyaannya, kalau kejahatannya bersifat mencederai kepentingan publik seperti tindak pidana korupsi misal suap, di mana seharusnya pemimpin bekerja untuk publik tapi tidak (dia lakukan, itu) bagaimana? Keadilan di hadapan publik itu bagaimana me-
restore-nya?" ucap Ghufron.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)