Wakil Ketua nonantif KPK Bambang Widjojanto--Foto: MI/Mohamd Irfan.
Wakil Ketua nonantif KPK Bambang Widjojanto--Foto: MI/Mohamd Irfan.

Pengujian UU KPK Dihujani Pertanyaan Hakim Konstitusi

Indriyani Astuti • 23 Juni 2015 16:28
medcom.id, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 32 Ayat (1) huruf c dan Ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan mantan pimpinan nonaktif KPK Bambang Widjojanto. Agenda sidang yang mendengarkan keterangan ahli dari pemohon itu justru dihujani berbagai pertanyaan dari para hakim konstitusi.
 
Dalam permohonannya, Bambang meminta MK memberi penafsiran konstitusional pada pasal tersebut. Disebabkan pasal itu tidak memuat secara rinci kategori tindak pidana yang dijadikan dasar pemberhentian pimpinan KPK apabila berstatus tersangka.
 
Hakim konstitusi I Gede Dewa Palguna mempertanyakan pentingnya MK memberi penafsiran pada pasal tersebut. Pasal 32 Ayat (2) UU KPK menyebutkan ‘Dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya’.

“Bukankah kalau MK memberi penafsiran futursitik tentang kategori tindak pidana dalam pasal tersebut, tidak dimanfaatkan bagi pimpinan KPK ke depan yang yang nantinya menjabat?” tanya Hakim Palguna kepada saksi ahli dari pihak pemohon di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (23/6/2015).
 
Sementara itu, hakim konstitusi Suhartoyo berpendapat, KPK adalah lembaga yang punya marwah luar biasa. Sehingga menjadi konsekuensi logis, lembaga itu harus diisi oleh pimpinan yang tidak punya rekam jejak kesalahan dimata hukum.
 
"Ada pejabat publik di lembaga lain yang bahkan belum terkena wilayah pidana. Namun hanya pelanggaran kode etik saja sudah ada pencopotan?” imbuh Suhartoyo.
 
Saksi ahli pemohon dari Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menjelaskan, pandangannya kepada majelis, ketentuan Pasal 32 Ayat (2) UU KPK sebenarnya untuk menjaga marwah KPK harus tetap ada. Tapi, ketentuan yang mengatur pemberhentian sementara pimpinan KPK dibutuhkan penafsiran. Hal itu lantaran adanya fakta penegakan hukum yang sangat mungkin tak normal seperti kasus yang dialami pemohon.
 
"Maka ada kepentingan untuk melakukan penafsiran atas klausa melakukan tindak pidana yang dicantumkan pasal tersebut," kata Zainal.
 
Saksi ahli lainnya, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia Ganjar Laksamana mengatakan, tindak pidana memang harus diproses. Namun setidaknya tempos delikti (waktu kejadian perkara) dilakukan saat menjabat, maka harus diberhentikan. Untuk pidana ringan diperlukan pertimbangan ditunda proses hukumnya atau tidak semata-mata demi yang bersangkutan bisa melaksanakan tugas.
 
MK juga mempertanyakan kesanggupan pemohon untuk memperdengarkan bukti rekaman yang diduga bentuk kriminalisasi pimpinan KPK dan pernah disebut oleh pihak BW.
 
"Apa pemohon bisa menghadirkan bukti rekaman tersebut. Nanti majelis akan memutuskan akan diperdengarkan saat sidang atau ketika Rapat Permusyawaratan Hakim sebagai referensi untuk mengambil kesimpulan?” tanya hakim Ketua Arief Hidayat.
 
Bambang mengatakan, dirinya sudah bukan lagi pimpinan KPK, sehingga tidak punya kewenangan membuka rekaman tersebut. Sebab itu, KPK sebagai pihak terkait perlu dihadirkan dalam persidangan untuk memberikan klarifikasi hal itu.
 
"Saya bukan pimpinan lagi, sehingga sulit menjawab karena bukan kapasitas saya," jawab Bambang.
 
Majelis menunggu kehadiran KPK sebagai pihak terkait dalam sidang selanjutnya yang digelar Selasa (30/6). Sebelumnya, mantan penyidik KPK Novel Baswedan saat menjadi saksi dalam persidangan pengujian UU KPK (25/5) di MK menyatakan terdapat sadapan pembicaraan berisi upaya pelemahan KPK.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan