medcom.id, Jakarta: Pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono (SBY) mewariskan banyak pekerjaan rumah dalam bidang hukum. Di era SBY, tata kelola, reformasi dan moral penegak hukum dibiarkan dalam kondisi rusak. Imbasnya, penegakan hukum di rezimnya tak pernah tegak.
Kondisi ini mau tak mau harus dihadapi Presiden Joko Widodo. Hakim Agung Topane Gayus lumbuun menilai salah satu kegagalan penegakan hukum di era SBY yakni diskresi atas penanganan perkara hukum.
Di pemerintahannya, banyak terjadi diskresi negatif karena didasari kepentingan individu atau penegak hukumnya.
"Selain itu penataan hukum tidak subjektif, maka wajar peraturan perundangan yang dihasilkan tidak menjadi solusi atas kondisi hukumnya," kata Gayus Lumbuun pada diskusi bertajuk Pekerjaan Rumah di Bidang Hukum Pemerintahan Jokowi-JK, di Jakarta, Rabu (19/11/2014).
Terjadinya diskresi negatif itu karena tidak ada pengawasan dan evaluasi menyeluruh serta berkala secara institusi.
"Maka patut diberikan perhatian oleh Pak Jokowi bahwa evaluasi pelaksana aturan dan penegakan hukum menjadi prioritas. Karena itu luput dari perhatian Pak SBY yang hanya terpaku pada produksi peraturan saja," ujarnya.
Sementara Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy menambahkan era Presiden Joko Widodo dihadapkan pada keharusan meningkatkan moralitas dan integritas. Sebab moral penegak hukum instrumen penting untuk terwujudnya tatanan hukum yang melahirkan keadilan dan kesejahteraan.
"Piring peninggalan SBY bau amis luar biasa harus dicuci oleh Pak Jokowi. Itu berupa moralitas buruk masih mewarnai Kejaksaan dan kepolisian, kalau memang Jokowi bisa mencuci amis SBY itu, maka sangat luar biasa," jelasnya.
Sahetapy menyebut kasus-kasus yang harus dituntaskan Jokowi antara lain kasus pelanggaran HAM pengusiran kelompok Syiah di Lombok, penyegelan Gereja Yasmin di Bogor, penjegalan izin pembangunan Masjid di NTT, dan 11 kasus pelanggaran HAM masa lalu yang masih mangkrak selama 10 tahun era SBY
Selain penyelesaian kasus, Presiden Joko Widodo menurut kata Sahetapy, mesti membenahi dan meningkatkan moralitas penegak hukum. Menurutnya, budaya malu dan bersalah tak tampak di moral penegak hukum.
Maka wajar jika ada temuan rekening gendut di kepolisian, jaksa transaksi dan upaya pelemahan KPK.
"Mereka masih berkeliaran dan patut dibereskan dengan perbaikan moralitas dan penerapan budaya malu. Itu selain dengan evaluasi dan pengawasan yang jauh harus lebih diketatkan," katanya.
Pada diskusi itu hadir diantaranya Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy, Dirjen Peraturan Perundangan Kementrian Hukum dan HAM Dwisucipto, Jaksa Muda Pidana Intelejen (Jampidtel) Kejaksaan Agung Arminsyah, Kepala Divisi Hukum (Kadivkum) Polri Irjen Pol Moechgiharto, Ketua Umum ILUNI FHUI Melli Darsa, dan Direktur Eksekutif PSHK Eryanto Nugroho.
medcom.id, Jakarta: Pemerintahan Susilo Bambang Yudhyono (SBY) mewariskan banyak pekerjaan rumah dalam bidang hukum. Di era SBY, tata kelola, reformasi dan moral penegak hukum dibiarkan dalam kondisi rusak. Imbasnya, penegakan hukum di rezimnya tak pernah tegak.
Kondisi ini mau tak mau harus dihadapi Presiden Joko Widodo. Hakim Agung Topane Gayus lumbuun menilai salah satu kegagalan penegakan hukum di era SBY yakni diskresi atas penanganan perkara hukum.
Di pemerintahannya, banyak terjadi diskresi negatif karena didasari kepentingan individu atau penegak hukumnya.
"Selain itu penataan hukum tidak subjektif, maka wajar peraturan perundangan yang dihasilkan tidak menjadi solusi atas kondisi hukumnya," kata Gayus Lumbuun pada diskusi bertajuk Pekerjaan Rumah di Bidang Hukum Pemerintahan Jokowi-JK, di Jakarta, Rabu (19/11/2014).
Terjadinya diskresi negatif itu karena tidak ada pengawasan dan evaluasi menyeluruh serta berkala secara institusi.
"Maka patut diberikan perhatian oleh Pak Jokowi bahwa evaluasi pelaksana aturan dan penegakan hukum menjadi prioritas. Karena itu luput dari perhatian Pak SBY yang hanya terpaku pada produksi peraturan saja," ujarnya.
Sementara Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy menambahkan era Presiden Joko Widodo dihadapkan pada keharusan meningkatkan moralitas dan integritas. Sebab moral penegak hukum instrumen penting untuk terwujudnya tatanan hukum yang melahirkan keadilan dan kesejahteraan.
"Piring peninggalan SBY bau amis luar biasa harus dicuci oleh Pak Jokowi. Itu berupa moralitas buruk masih mewarnai Kejaksaan dan kepolisian, kalau memang Jokowi bisa mencuci amis SBY itu, maka sangat luar biasa," jelasnya.
Sahetapy menyebut kasus-kasus yang harus dituntaskan Jokowi antara lain kasus pelanggaran HAM pengusiran kelompok Syiah di Lombok, penyegelan Gereja Yasmin di Bogor, penjegalan izin pembangunan Masjid di NTT, dan 11 kasus pelanggaran HAM masa lalu yang masih mangkrak selama 10 tahun era SBY
Selain penyelesaian kasus, Presiden Joko Widodo menurut kata Sahetapy, mesti membenahi dan meningkatkan moralitas penegak hukum. Menurutnya, budaya malu dan bersalah tak tampak di moral penegak hukum.
Maka wajar jika ada temuan rekening gendut di kepolisian, jaksa transaksi dan upaya pelemahan KPK.
"Mereka masih berkeliaran dan patut dibereskan dengan perbaikan moralitas dan penerapan budaya malu. Itu selain dengan evaluasi dan pengawasan yang jauh harus lebih diketatkan," katanya.
Pada diskusi itu hadir diantaranya Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy, Dirjen Peraturan Perundangan Kementrian Hukum dan HAM Dwisucipto, Jaksa Muda Pidana Intelejen (Jampidtel) Kejaksaan Agung Arminsyah, Kepala Divisi Hukum (Kadivkum) Polri Irjen Pol Moechgiharto, Ketua Umum ILUNI FHUI Melli Darsa, dan Direktur Eksekutif PSHK Eryanto Nugroho.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(KRI)