Acara 'Youth Forum-16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan' di The Ice Palace, Lotte Avenue, Jakarta Selatan, Minggu (18/12/2016). Foto: MTVN/Renatha Swasty
Acara 'Youth Forum-16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan' di The Ice Palace, Lotte Avenue, Jakarta Selatan, Minggu (18/12/2016). Foto: MTVN/Renatha Swasty

Perkawinan Anak bukan Tradisi yang Harus Dilanjutkan

Renatha Swasty • 18 Desember 2016 16:25
medcom.id, Jakarta: Oxfam, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak memerangi kemiskinan dan ketidakadilan mencatat, Indonesia jadi negara kedua terbesar perkawinan anak se-ASEAN setelah Kamboja. Banyak alasan orang tua mengawinkan anak mereka di usia sangat muda misalnya karena tradisi.
 
Baru-baru ini di Sulawesi Selatan orang tua menikahkan anak mereka yang berumur delapan tahun dengan alasan adat. Perkawinan anak juga banyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jakarta, dan Bekasi.
 
Selain tradisi, orang tua acap kali menggunakan alasan 'kalau sudah menikah beban berkurang', 'saya juga nikah usia segini', 'sudah punya pacar juga daripada nanti kenapa-kenapa', 'sudah menstruasi juga, ya sudah'. Alasan-alasan itu harus dibuang jauh.

Pasalnya, Direktur Keadilan Gender Oxfam di Indonesia Antarini Arna menyebut perkawinan di bawah usia 18 tahun khususnya pada anak perempuan malah membikin sejumlah masalah. Salah satunya kemiskinan.
 
"Kekerasan pada perempuan termasuk perkawinan pada anak itu adalah triger untuk kemiskinan. Karena lingkaran kemiskinan dimulai ketika misalnya dia masih anak-anak sudah dikawinkan menjadi perempuan masuk ke dalam keluarga suami, kemudian sendirian, pendidikan diputus, dari situ muncul kemiskinan berwajah perempuan," kata Antarini, di sela acara 'Youth Forum-16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan' di The Ice Palace, Lotte Avenue, Jakarta Selatan, Minggu (18/12/2016).
 
Belum lagi ketika anak perempuan melahirkan ibu dan bayinya rentan meninggal. Atau ketika memiliki anak, si ibu tidak memiliki pendidikan yang cukup sehingga bayi yang dilahirkan pun diragukan berkualitas.
 
Karena itu, perlu mengubah pemikiran semua orang dengan tidak menjadikan perkawinan anak sebuah tradisi. Tradisi tidak harus dihilangkan, tapi sangat baik bila tradisi yang merugikan dihilangkan dan perkawinan anak adalah tradisi yang tidak harus dilanjutkan.
 
"Ini sebuah revolusi mental buat orang Indonesia untuk menghentikan perkawinan anak dengan pertama mengatakan ini bukan tradisi yang harus dilanjutkan, ini bukan kebudayaan yang harus di nature," tambah dia.
 
Antarini memahami mengubah budaya dan tradisi tidak semudah membalik telapak tangan. Atau hari ini kampanye, besok akan diikuti semua orang.
 
Tapi hal itu harus dilakukan sejak sekarang jika tidak mau 10 tahun dari sekarang Indonesia masih sibuk mengurus perkawinan anak. Masalah perkawinan anak saja kata dia sudah jadi pembahasan sejak 1929 di Indonesia.
 
Oxfam terus mendorong berbagai lini supaya mencegah perkawinan anak. Misalnya memberikan pemahaman pada pemerintah daerah, kepala adat, pemuka agama.
 
Dengan orang-orang itu, diharapkan mereka menyampaikan pada orang tua soal buruknya perkawinan anak. Kendati begitu, orang tua juga harus diikutsertakan. Mereka harus diberikan pemahaman kalau ada banyak jalan untuk hidup selain menikahkan anak mereka di usia muda.
 
"Kita ingin mengajak pemimpin di Indonesia, wali kota, lurah, bagaimana supaya mereka membuka space pada anak perempuan ini agar punya pilihan lebih banyak dalam hidupnya. Sehingga tidak melihat perkawinan sebagai satu-satunya jalan," tambah Antarini.
 
Mengajak Stop Perkawinan Anak
 
Kaylanamitra, LSM yang juga peduli perempuan pada perayaan 16 hari antikekerasan terhadap perempuan memfokuskan kampanye pada penghapusan praktik perkawinan anak. Ketua Kaylanamitra Listyowati menyebut, kerap kali orang tua menyanggah perkawinan anak bukan kekerasan terhadap perempuan tapi hanya tradisi.
 
Padahal, perkawinan anak salah satu bentuk kekerasan pada perempuan. Dari rangkaian acara yang diadakan pada perayaan 16 hari antikekerasan terhadap perempuan diketahui anak-anak yang diundang tidak mau menikah di bawah 18 tahun.
 
"Kita lomba ini kita mau lihat sebenarnya gimana sih anak ini menggambarkan tanpa kita kasih lihat perkawinan anak begini. Kita jadi tahu teman-teman yang menang (lomba) mereka menolak (perkawinan anak) dan sebetulnya banyak anak Indonesia yang tidak setuju," ujar Listyowati.
 
Untuk mengkampanyekan stop perkawinan anak, Kaylanamitra juga kerap mendatangi kampung dan komunitas di sekitar Jakarta. Mereka datang buat mensosialisasikan buruknya perkawinan anak.
 
Kerap kali, penolakan justru datang dari orang tua. Lagi-lagi alasannya buat hidup lebih baik, padahal si anak jelas menolak. Tapi, dia yakin dengan pemahaman yang tepat dan penjelasan dari anak, orang tua bakal mengerti.
 
"Anak-anak seringkali takut daripada dimarahin. Tapi kalau anak jujur pasti didengar," kata dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan