Jakarta: Keluarga pasien yang anaknya meninggal karena Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal pada Anak (GGAPA) besar kemungkinan menuntut Badan pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tuntunan ini karena lengahnya pengawasan terhadap peredaran obat.
Kuasa Hukum Pasien Gagal Ginjal dari Kantor Hukum Malvis Attorneys at Law Satria Kinayungan mengatakan, timnya sedang mendalami laporan dari keluarga pasien. Kuasa hukum ini sedang mengumpulkan data selengkap mungkin terkait Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
Hasil pemeriksaannya, kasus ini terjadi berkaitan masalah impor bahan baku yang harganya melambung tinggi. Akhirnya industri farmasi mengambil jalan pintas seperti ini.
"Kita bisa saja kejar kasus perdata karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah masuk itu. Tapi ini kan BPOM mau kita singgung juga tapi terlihat mereka masih bekerja, tapi kalau dilihat pengawasan BPOM terhadap obat ini juga kurang maksimal, menurut saya. Namun, kami masih analisa menuntut pemerintah dalam hal apa apakah menuntut tim gabungan atau seperti apa," kata Satria kepada Media Indonesia, Selasa, 1 November 2022.
Ia menjelaskan besar kemungkinan bisa menuntut BPOM dan Kemenkes. Dalam hal ini kedua pihak dianggap sebagai yang bertanggung jawab mengawasi peredaran obat di Indonesia.
"Kita sudah menyarankan, namun kita tergantung klien, tidak bisa ujug-ujug gitu karena ini terkait anak mereka. Kalau pidana bisa panjang, otopsi, dan segala macam menjadi perhitungan mereka. Sehingga yang pasti adalah menuntut keadilan terjadinya kejahatan korporasi," ujarnya.
Saat ini, ada 4 keluarga pasien GGAPA yang melapor kepada kantor hukumnya dan keempat keluarga pasien tersebut anaknya mennggal. Yang melaporkan terkait kasus GGAPA berasal dari Manado, Sumatra Utara, Sulawesi, Depok, dan lainnya.
"Karena kami Pro Bono sementara jumlah yang anaknya masih hidup ada beberapa namun dengan catatan harus cuci darah lagi. Keluarga pasien yang anaknya masih hidup lebih banyak menerima," ujarnya.
Saat ini, pihaknya masih memantau BPOM dan Kepolisian karena tiga industri farmasi masih bisa berkembang. Dia menangani kasus salah satunya dari Sumatra Utara, yang setelah minum obat anaknya dalam waktu tiga hari tidak keluar urine dan dalam waktu seminggu sudah meninggal.
Satria mengatakan tuntutan dari keluarga korban juga masih pecah yakni seperti menuntut keadilan agar hukum ditegakkan seadil-adilnya yakni secara pidana dan perdata. Untuk tuntutan perdata pun ada orang tua lain yang merasa seperti tidak elok anak yang sudah meninggal namun dituntut secara materil.
"Namun yang pasti menuntut keadilan sehingga tidak terjadi korban dan kasus serupa. Kalau pidana ini masuk delik umum dan kepolisian masih mengusut ini sehingga kamu masih pantau," tambahnya.
Pihaknya merencanakan melaporkan secara bersama-sama namun masih dipertimbangkan karena domisili keluarga pasien jauh. Namun disarankan laporan di Bareskrim Polri.
Jakarta: Keluarga pasien yang anaknya meninggal karena
Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal pada Anak (GGAPA) besar kemungkinan menuntut Badan pengawas Obat dan Makanan (
BPOM). Tuntunan ini karena lengahnya pengawasan terhadap peredaran obat.
Kuasa Hukum Pasien Gagal Ginjal dari Kantor Hukum Malvis Attorneys at Law Satria Kinayungan mengatakan, timnya sedang mendalami laporan dari keluarga pasien. Kuasa hukum ini sedang mengumpulkan data selengkap mungkin terkait Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
Hasil pemeriksaannya, kasus ini terjadi berkaitan masalah impor bahan baku yang harganya melambung tinggi. Akhirnya industri farmasi mengambil jalan pintas seperti ini.
"Kita bisa saja kejar kasus perdata karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah masuk itu. Tapi ini kan BPOM mau kita singgung juga tapi terlihat mereka masih bekerja, tapi kalau dilihat pengawasan BPOM terhadap
obat ini juga kurang maksimal, menurut saya. Namun, kami masih analisa menuntut pemerintah dalam hal apa apakah menuntut tim gabungan atau seperti apa," kata Satria kepada
Media Indonesia, Selasa, 1 November 2022.
Ia menjelaskan besar kemungkinan bisa menuntut BPOM dan
Kemenkes. Dalam hal ini kedua pihak dianggap sebagai yang bertanggung jawab mengawasi peredaran obat di Indonesia.
"Kita sudah menyarankan, namun kita tergantung klien, tidak bisa ujug-ujug gitu karena ini terkait anak mereka. Kalau pidana bisa panjang, otopsi, dan segala macam menjadi perhitungan mereka. Sehingga yang pasti adalah menuntut keadilan terjadinya kejahatan korporasi," ujarnya.
Saat ini, ada 4 keluarga pasien GGAPA yang melapor kepada kantor hukumnya dan keempat keluarga pasien tersebut anaknya mennggal. Yang melaporkan terkait kasus GGAPA berasal dari Manado, Sumatra Utara, Sulawesi, Depok, dan lainnya.
"Karena kami Pro Bono sementara jumlah yang anaknya masih hidup ada beberapa namun dengan catatan harus cuci darah lagi. Keluarga pasien yang anaknya masih hidup lebih banyak menerima," ujarnya.
Saat ini, pihaknya masih memantau BPOM dan Kepolisian karena tiga industri farmasi masih bisa berkembang. Dia menangani kasus salah satunya dari Sumatra Utara, yang setelah minum obat anaknya dalam waktu tiga hari tidak keluar urine dan dalam waktu seminggu sudah meninggal.
Satria mengatakan tuntutan dari keluarga korban juga masih pecah yakni seperti menuntut keadilan agar hukum ditegakkan seadil-adilnya yakni secara pidana dan perdata. Untuk tuntutan perdata pun ada orang tua lain yang merasa seperti tidak elok anak yang sudah meninggal namun dituntut secara materil.
"Namun yang pasti menuntut keadilan sehingga tidak terjadi korban dan kasus serupa. Kalau pidana ini masuk delik umum dan kepolisian masih mengusut ini sehingga kamu masih pantau," tambahnya.
Pihaknya merencanakan melaporkan secara bersama-sama namun masih dipertimbangkan karena domisili keluarga pasien jauh. Namun disarankan laporan di Bareskrim Polri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)