medcom.id, Jakarta: Majelis Hakim Tipikor menolak pengajuan justice collaborator yang diajukan Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir. Hakim menilai, Abdul Khoir memiliki peran sentral terkait suap pada Kepala BPJN IX Amran HI Mustary dan sejumlah anggota DPR RI.
"Menimbang bahwa dengan memerhatikan peran terdakwa yang demikian sentral di antara kawan-kawan terdakwa sesama pengusaha kontraktor lainnya, yakni Hong Artha Jon Alfred, So Kok Seng alias Aseng, Henock Setiawan, Charles Fransz, mewujudkan anasir perbuatan pidana sebagaimana yang didakwa JPU, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa adalah sebagai pelaku utama dalam perkara ini," ujar hakim anggota Faisal Hendri saat membacakan pertimbangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/6/2016).
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Hakim Faisal menyebut, ternyata Abdul sejak awal bertemu dengan Amran selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara. Abdul juga berusaha melakukan pendekatan dengan memberikan uang sebesar Rp8 miliar bersama Hong Artha untuk membiayai suksesi Amran yang baru dilantik sebagai Kepala BPJN IX.
"Kemudian terdakwa mengadakan negosiasi dalam rangka untuk mendapatkan proyek aspirasi anggota Komisi V, yakni Andi Taufan Tiro, Musa Zainuddin, Damayanti Wisnu Putranti, dan Budi Suprianto supaya program aspirasi disalurkan untuk pembangunan wilayah Maluku dan Maluku Utara, yang kemudian berusaha memenuhi permintaan Amran yang semula sebesar Rp3 miliar namun kesanggupan terdakwa sebesar Rp2,6 miliar," ujar Hakim Faisal.
Terdakwa kasus dugaan suap kepada anggota DPR RI terkait proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara pada KemenPUPR Abdul Khoir bersiap menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/6). Foto: MI/Rommy Pujianto
Untuk menyanggupi duit itu, Abdul kemudian mengumpulkan dari teman-temannya supaya program aspirasi Komisi V disalurkan dalam bentuk proyek rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara. Amran dengan pengaruh dan kewenangannya selaku kepala BPJN IX, kata Hakim Faisal, dapat menunjuk atau memberikan kemudahan kepada PT Windhu Tunggal Utama, PT Cahaya Mas Perkasa, PT Sarlen Raya atau Jco Grup sebagai rekanan atau pelaksananya.
"Menimbang bahwa oleh karena peran terdakwa adalah sebagai pelaku utama maka majelis berpendapat bahwa penetapan terdakwa sebagai justice collaborator (JC) berdasarkan surat keputusan pimpinan KPK No.571/0155/05/2016 tanggal 16 Mei 2016 adalah tidak tepat," tegas Hakim Faisal.
Lantaran ditolak, maka surat pengajuan JC tidak dapat dijadikan pedoman bagi majelis hakim untuk menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam perkara tersebut.
Majelis Hakim memberikan putusan lebih berat dari tuntutan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum. Abdul divonis empat tahun penjara denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan.
medcom.id, Jakarta: Majelis Hakim Tipikor menolak pengajuan justice collaborator yang diajukan Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir. Hakim menilai, Abdul Khoir memiliki peran sentral terkait suap pada Kepala BPJN IX Amran HI Mustary dan sejumlah anggota DPR RI.
"Menimbang bahwa dengan memerhatikan peran terdakwa yang demikian sentral di antara kawan-kawan terdakwa sesama pengusaha kontraktor lainnya, yakni Hong Artha Jon Alfred, So Kok Seng alias Aseng, Henock Setiawan, Charles Fransz, mewujudkan anasir perbuatan pidana sebagaimana yang didakwa JPU, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa adalah sebagai pelaku utama dalam perkara ini," ujar hakim anggota Faisal Hendri saat membacakan pertimbangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (9/6/2016).
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Hakim Faisal menyebut, ternyata Abdul sejak awal bertemu dengan Amran selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara. Abdul juga berusaha melakukan pendekatan dengan memberikan uang sebesar Rp8 miliar bersama Hong Artha untuk membiayai suksesi Amran yang baru dilantik sebagai Kepala BPJN IX.
"Kemudian terdakwa mengadakan negosiasi dalam rangka untuk mendapatkan proyek aspirasi anggota Komisi V, yakni Andi Taufan Tiro, Musa Zainuddin, Damayanti Wisnu Putranti, dan Budi Suprianto supaya program aspirasi disalurkan untuk pembangunan wilayah Maluku dan Maluku Utara, yang kemudian berusaha memenuhi permintaan Amran yang semula sebesar Rp3 miliar namun kesanggupan terdakwa sebesar Rp2,6 miliar," ujar Hakim Faisal.
Terdakwa kasus dugaan suap kepada anggota DPR RI terkait proyek infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara pada KemenPUPR Abdul Khoir bersiap menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (9/6). Foto: MI/Rommy Pujianto
Untuk menyanggupi duit itu, Abdul kemudian mengumpulkan dari teman-temannya supaya program aspirasi Komisi V disalurkan dalam bentuk proyek rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara. Amran dengan pengaruh dan kewenangannya selaku kepala BPJN IX, kata Hakim Faisal, dapat menunjuk atau memberikan kemudahan kepada PT Windhu Tunggal Utama, PT Cahaya Mas Perkasa, PT Sarlen Raya atau Jco Grup sebagai rekanan atau pelaksananya.
"Menimbang bahwa oleh karena peran terdakwa adalah sebagai pelaku utama maka majelis berpendapat bahwa penetapan terdakwa sebagai justice collaborator (JC) berdasarkan surat keputusan pimpinan KPK No.571/0155/05/2016 tanggal 16 Mei 2016 adalah tidak tepat," tegas Hakim Faisal.
Lantaran ditolak, maka surat pengajuan JC tidak dapat dijadikan pedoman bagi majelis hakim untuk menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam perkara tersebut.
Majelis Hakim memberikan putusan lebih berat dari tuntutan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum. Abdul divonis empat tahun penjara denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MBM)