medcom.id, Jakarta: Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri ogah mengaitkan kelangkaan garam dengan kasus yang menimpa PT Garam Persero. Direktur Utama PT Garam Persero Achmad Boediono tersandung kasus penyimpangan impor garam industri.
"Mekanismenya pasti beda. Kami tidak mau mencampuradukkan," tegas Direktur Tipideksus Brigjen Agung Setya kepada Metrotvnews.com di kantornya, Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Rabu 2 Juli 2017.
Jenderal bintang satu itu mengatakan, pihaknya bakal menelaah pelanggaran yang dilakukan pengusaha untuk mengungkap kasus kelangkaan garam. Pengelolaan garam, tegas Agung, harus sesuai ketentuan.
Agung menjelaskan, kekacauan dipastikan muncul apabila tata kelola salah dan menabrak aturan. Hal itu jelas memengaruhi aktivitas pasar, sepeti kelangkaan dan melonjaknya harga.
"Sekarang yang saya mau tanya UU tentang pertambakan (Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam ) kan sudah ada. Tentunya dengan dasar UU itu yang mengatur pergaraman untuk rakyat," jelas dia.
Bahkan, untuk menyamakan konstruksi hukum masalah kelangkaan garam itu, semua pihak harus mencari tahu seberapa besar produksi garam dalam negeri. Termasuk, menelusuri peran dan keberadaan para penjahat garam.
"Tentunya dalam memetakan ini sangat bermanfaat untuk menemukan pelakunya. Jadi kalau petanya enggak jelas, enggak fokus, ya enggak dapat," ucap Agung.
Dalam kasus penyelewengan garam industri sebanyak 75 ribu ton, PT Garam selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bertugas mengimpor garam konsumsi guna memenuhi kebutuhan garam nasional. Namun, sesuai Surat Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan, yang diimpor oleh PT Garam merupakan garam industri dengan kadar NaCL diatas 97%.
Sebanyak 1.000 ton garam industri impor sudah dikemas dalam kemasan 400 gram dengan merek garam Cap Segi Tiga G, lalu dijual untuk konsumsi. Sedangkan 74 ribu ton sisanya diperdagangkan atau didistribusikan kepada 45 perusahaan lain.
Mengacu Pasal 10 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Importasi Garam, importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain.
Dirut PT Garam dianggap melanggar pasal berlapis. Antara lain, Pasal 62 Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 3 poin ke-5 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Achmad terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
medcom.id, Jakarta: Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri ogah mengaitkan kelangkaan garam dengan kasus yang menimpa PT Garam Persero. Direktur Utama PT Garam Persero Achmad Boediono tersandung kasus penyimpangan impor garam industri.
"Mekanismenya pasti beda. Kami tidak mau mencampuradukkan," tegas Direktur Tipideksus Brigjen Agung Setya kepada Metrotvnews.com di kantornya, Gedung Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Rabu 2 Juli 2017.
Jenderal bintang satu itu mengatakan, pihaknya bakal menelaah pelanggaran yang dilakukan pengusaha untuk mengungkap kasus kelangkaan garam. Pengelolaan garam, tegas Agung, harus sesuai ketentuan.
Agung menjelaskan, kekacauan dipastikan muncul apabila tata kelola salah dan menabrak aturan. Hal itu jelas memengaruhi aktivitas pasar, sepeti kelangkaan dan melonjaknya harga.
"Sekarang yang saya mau tanya UU tentang pertambakan (Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam ) kan sudah ada. Tentunya dengan dasar UU itu yang mengatur pergaraman untuk rakyat," jelas dia.
Bahkan, untuk menyamakan konstruksi hukum masalah kelangkaan garam itu, semua pihak harus mencari tahu seberapa besar produksi garam dalam negeri. Termasuk, menelusuri peran dan keberadaan para penjahat garam.
"Tentunya dalam memetakan ini sangat bermanfaat untuk menemukan pelakunya. Jadi kalau petanya enggak jelas, enggak fokus, ya enggak dapat," ucap Agung.
Dalam kasus penyelewengan garam industri sebanyak 75 ribu ton, PT Garam selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bertugas mengimpor garam konsumsi guna memenuhi kebutuhan garam nasional. Namun, sesuai Surat Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan, yang diimpor oleh PT Garam merupakan garam industri dengan kadar NaCL diatas 97%.
Sebanyak 1.000 ton garam industri impor sudah dikemas dalam kemasan 400 gram dengan merek garam Cap Segi Tiga G, lalu dijual untuk konsumsi. Sedangkan 74 ribu ton sisanya diperdagangkan atau didistribusikan kepada 45 perusahaan lain.
Mengacu Pasal 10 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Importasi Garam, importir garam industri dilarang memperdagangkan atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain.
Dirut PT Garam dianggap melanggar pasal berlapis. Antara lain, Pasal 62 Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 3 poin ke-5 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Achmad terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)