Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami aktivitas PT Aero Citra Kargo (PT ACK) dalam kasus dugaan suap perizinan tambak, usaha, dan pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya pada 2020. Informasi itu digali lewat pihak swasta, Deden Deni.
"Yang bersangkutan didalami mengenai pengetahuan saksi tentang aktivitas PT ACK dalam pengajuan permohonan izin ekspor benur (benih lobster) di Kementerian Kelautan dan Perikanan," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 8 Desember 2020.
KPK juga telah memeriksa pegawai PT Dua Putra Perkasa (DPP), Betha Maya Fabian, terkait kasus rasuah ini. Dari Betha, KPK mendalami proses pendataan dan aktivitas keuangan PT DPP. Keterangan keduanya sudah dicatat KPK untuk penguatan bukti.
Baca: KPK Dalami Kasus Korupsi Ekspor Benur Lewat Sespri Edhy Prabowo
KPK sudah menetapkan Menteri nonaktif Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bersama enam orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap ekspor benur ini. Sebanyak enam sebagai penerima suap, yakni Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, pihak swasta Amiril Mukminin, serta Edhy.
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Kementerian Kelautan dan Perikanan diduga memonopoli dalam kasus korupsi. Sebab, ekspor benur hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami aktivitas PT Aero Citra Kargo (PT ACK) dalam kasus dugaan
suap perizinan tambak, usaha, dan pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya pada 2020. Informasi itu digali lewat pihak swasta, Deden Deni.
"Yang bersangkutan didalami mengenai pengetahuan saksi tentang aktivitas PT ACK dalam pengajuan permohonan izin ekspor benur (benih lobster) di Kementerian Kelautan dan Perikanan," kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 8 Desember 2020.
KPK juga telah memeriksa pegawai PT Dua Putra Perkasa (DPP), Betha Maya Fabian, terkait kasus rasuah ini. Dari Betha, KPK mendalami proses pendataan dan aktivitas keuangan PT DPP. Keterangan keduanya sudah dicatat KPK untuk penguatan bukti.
Baca: KPK Dalami Kasus Korupsi Ekspor Benur Lewat Sespri Edhy Prabowo
KPK sudah menetapkan Menteri nonaktif Kelautan dan Perikanan
Edhy Prabowo bersama enam orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap ekspor benur ini. Sebanyak enam sebagai penerima suap, yakni Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT ACK Siswadi, istri Staf Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, pihak swasta Amiril Mukminin, serta Edhy.
Seorang tersangka diduga sebagai pemberi, yakni Direktur PT DPP Suharjito. Edhy diduga menerima Rp3,4 miliar dan US$100ribu dalam korupsi tersebut. Sebagian uang digunakan Edhy Prabowo untuk berbelanja bersama istri, Andreau, dan Safri ke Honolulu, Hawaii.
Kementerian Kelautan dan Perikanan diduga memonopoli dalam kasus korupsi. Sebab, ekspor benur hanya bisa dilakukan melalui PT ACK dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor.
Penerima disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)