Jakarta: Draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disepakati dibawa ke rapat paripurna pada Rabu, 15 Desember 2021. Anggota dewan diminta segera menjadwalkan pengesahan RUU TPKS dalam sidang akhir 2021.
"Bamus (badan musyawarah) sebagai alat kelengkapan dewan menjadwalkan pengesahan RUU TPKS dalam agenda sidang Paripurna DPR RI pada 15 Desember 2021," kata salah satu koalisi dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Eva Risan, dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 Desember 2021.
Draf RUU TPKS telah ditetapkan di Badan Legislatif (Baleg) dengan didukung 7 fraksi, yakni NasDem, PDIP, PKB, Demokrat, PPP, PAN, dan Gerindra. Bamus diminta memandatkan kepada Baleg untuk menindaklanjuti pembahasannya guna percepatan menjadi UU TPKS.
"Baleg DPR untuk segera menyampaikan RUU TPKS inisiatif DPR kepada Presiden (Joko Widodo) untuk segera dibahas bersama pemerintah sebagai RUU Prioritas dalam Prolegnas 2022," ujar Eva.
Eva menyebut ada 7.693 kasus kekerasan terhadap perempuan, 73,7 persennya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemudian, ada 10.832 kasus kekerasan terhadap anak yang didominasi kasus kekerasan seksual, 59,7 persen.
Hal itu berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 1 Januari-9 Desember 2021. "Kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan dan institusi keagamaan menandakan makin tipisnya tempat aman bagi perempuan," ungkap Eva.
Eva menyebut pesantren menempati urutan kedua setelah universitas dalam kasus kekerasan seksual. Hal itu berdasarkan data kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diadukan ke Komnas Perempuan periode 2015-2020.
"Termasuk kasus yang terjadi di beberapa lembaga negara dan aparat penegak hukum belakangan banyak terungkap," kata Eva.
Eva mengatakan kekerasan di tempat kerja juga mengkhawatirkan. Hasil penelitian yang dilakukan Perempuan Mahardhika di KBN Cakung pada 2017, menunjukkan 56,5 persen buruh garmen perempuan pernah mengalami pelecehan seksual dengan berbagai bentuk. Sebanyak 93,6 persen dari korban tidak melaporkan karena tidak ada mekanisme di tempat kerja.
"Hasil penelitian yang sama juga menunjukkan angka 50 persen buruh perempuan garmen merasa khawatir saat mengetahui kehamilannya karena lingkungan kerja yang tidak ramah pada buruh hamil," ucap Eva.
Baca: Menag Siapkan 3 Jurus Cegah Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama
Eva menuturkan kasus yang baru-baru ini terjadi adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru pesantren terhadap belasan santri perempuan. Bahkan, beberapa di antaranya hamil dan melahirkan anak.
Kekerasan seksual yang dilakukan aparat penegak hukum maupun dosen di perguruan tinggi juga banyak terjadi. Menurut Eva, fakta itu cukup mengambarkan betapa perempuan, anak, dan juga laki-laki sangat tidak terlindungi secara hukum.
"Sudah saatnya segera disahkan undang-undang yang melindungi dari kekerasan seksual dan menjauhkannya dari kriminalisasi atas kekerasan seksual yang dialaminya," ungkap Eva.
Negara disebut wajib memastikan tak ada lagi korban kekerasan seksual yang tidak terlindungi. Korban membutuhkan penanganan terpadu dan komprehensif, pelaku perlu dihukum, serta tak ada lagi hak-hak korban yang dilanggar.
Jakarta: Draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(RUU TPKS) disepakati dibawa ke rapat paripurna pada Rabu, 15 Desember 2021. Anggota dewan diminta segera menjadwalkan pengesahan RUU TPKS dalam sidang akhir 2021.
"Bamus (badan musyawarah) sebagai alat kelengkapan dewan menjadwalkan pengesahan RUU TPKS dalam agenda sidang Paripurna
DPR RI pada 15 Desember 2021," kata salah satu koalisi dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban
Kekerasan Seksual, Eva Risan, dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 Desember 2021.
Draf RUU TPKS telah ditetapkan di Badan Legislatif (Baleg) dengan didukung 7 fraksi, yakni NasDem, PDIP, PKB, Demokrat, PPP, PAN, dan Gerindra. Bamus diminta memandatkan kepada Baleg untuk menindaklanjuti pembahasannya guna percepatan menjadi UU TPKS.
"Baleg DPR untuk segera menyampaikan RUU TPKS inisiatif DPR kepada Presiden (Joko Widodo) untuk segera dibahas bersama pemerintah sebagai RUU Prioritas dalam Prolegnas 2022," ujar Eva.
Eva menyebut ada 7.693 kasus kekerasan terhadap perempuan, 73,7 persennya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemudian, ada 10.832 kasus kekerasan terhadap anak yang didominasi kasus kekerasan seksual, 59,7 persen.
Hal itu berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 1 Januari-9 Desember 2021. "Kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan dan institusi keagamaan menandakan makin tipisnya tempat aman bagi perempuan," ungkap Eva.
Eva menyebut pesantren menempati urutan kedua setelah universitas dalam kasus kekerasan seksual. Hal itu berdasarkan data kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diadukan ke Komnas Perempuan periode 2015-2020.
"Termasuk kasus yang terjadi di beberapa lembaga negara dan aparat penegak hukum belakangan banyak terungkap," kata Eva.
Eva mengatakan kekerasan di tempat kerja juga mengkhawatirkan. Hasil penelitian yang dilakukan Perempuan Mahardhika di KBN Cakung pada 2017, menunjukkan 56,5 persen buruh garmen perempuan pernah mengalami pelecehan seksual dengan berbagai bentuk. Sebanyak 93,6 persen dari korban tidak melaporkan karena tidak ada mekanisme di tempat kerja.
"Hasil penelitian yang sama juga menunjukkan angka 50 persen buruh perempuan garmen merasa khawatir saat mengetahui kehamilannya karena lingkungan kerja yang tidak ramah pada buruh hamil," ucap Eva.
Baca:
Menag Siapkan 3 Jurus Cegah Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama
Eva menuturkan kasus yang baru-baru ini terjadi adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru pesantren terhadap belasan santri perempuan. Bahkan, beberapa di antaranya hamil dan melahirkan anak.
Kekerasan seksual yang dilakukan aparat penegak hukum maupun dosen di perguruan tinggi juga banyak terjadi. Menurut Eva, fakta itu cukup mengambarkan betapa perempuan, anak, dan juga laki-laki sangat tidak terlindungi secara hukum.
"Sudah saatnya segera disahkan undang-undang yang melindungi dari kekerasan seksual dan menjauhkannya dari kriminalisasi atas kekerasan seksual yang dialaminya," ungkap Eva.
Negara disebut wajib memastikan tak ada lagi korban kekerasan seksual yang tidak terlindungi. Korban membutuhkan penanganan terpadu dan komprehensif, pelaku perlu dihukum, serta tak ada lagi hak-hak korban yang dilanggar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)