Jakarta: Pengamat intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta, menduga kelompok sakit hati menjadi otak rencana pembunuhan empat tokoh nasional. Mereka dinilai kecewa karena jagoannya kalah dalam Pemilu 2019.
“Menyatakan ini dari pihak yang kalah, kemungkinan besar iya. Mungkin pendukung fanatik. Ketika yang didukung kalah, mereka melakukan aksi,” kata Stanislaus kepada Medcom.id, Selasa, 28 Mei 2019.
Kelompok sakit hati membaur dengan beberapa kelompok lain dalam aksi menolak hasil Pemilu 2019 di depan Gedung Bawaslu, Jakarta. Ada beberapa kelompok yang turun saat aksi berlangsung. Mereka ialah kelompok pedemo yang damai, kelompok radikal, kelompok preman bayaran, dan kelompok sakit hati.
Stanislaus juga menduga kelompok sakit hati itu membayar preman untuk membunuh empat tokoh nasional. Hal itu terlihat dari barang bukti yang disita kepolisian.
“Dilihat dari senjata yang disita, ada yang tampak rakitan. Senjata rakitan khas digunakan preman atau pelaku kriminal. Ini kelompok kriminal yang dimanfaatkan kelompok intelektual,” ujar dia.
Stanislaus meminta kepolisian segera mengungkap aktor intelektual dan motif rencana pembunuhan. Itu diperlukan agar kondisi kembali kondusif.
Di sisi lain, dia menjelaskan besarnya fanatisme pada hal tertentu sangat berbahaya. Hal itu juga dapat memunculkan tindakan di luar nalar dan hukum jika sudah kecewa atau sakit hati.
Baca: Kronologi Rencana Pembunuhan Empat Tokoh Nasional
Sebelumnya, Polri mengungkap rencana pembunuhan empat tokoh nasional pada kerusuhan 22 Mei 2019. Polisi menangkap enam tersangka penunggang gelap aksi yang memprotes hasil pemilu itu.
Keenam tersangka tersebut berinisial HK, AZ, IF, TJ, AD, dan AF. Mereka ditangkap di lokasi berbeda.
Pemufakatan jahat ini sudah direncanakan sejak Oktober 2018. Pelaku sempat turun langsung ke lapangan dan berbaur dengan massa aksi saat kericuhan di depan Gedung Bawaslu, Jakarta pada 21 Mei 2019. Namun, polisi berhasil mencegah rencana itu.
Keenam tersangka dijerat Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun penjara.
Dari tangan pelaku, polisi menyita sejumlah barang bukti, yaitu sepucuk pistol Taurus kaliber 38, dua boks peluru k 38 jumlah 93 butir dari tangan HK; pistol jenis Meyer kaliber 52, dan 5 butir peluru dari tangan AZ, sepucuk senpi laras panjang rakitan kaliber 22 dan sebuah senpi laras pendek rakitan kaliber 22 dari tangan TJ, serta rompi antipeluru dengan logo polisi.
Jakarta: Pengamat intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta, menduga kelompok sakit hati menjadi otak rencana pembunuhan empat tokoh nasional. Mereka dinilai kecewa karena jagoannya kalah dalam Pemilu 2019.
“Menyatakan ini dari pihak yang kalah, kemungkinan besar iya. Mungkin pendukung fanatik. Ketika yang didukung kalah, mereka melakukan aksi,” kata Stanislaus kepada
Medcom.id, Selasa, 28 Mei 2019.
Kelompok sakit hati membaur dengan beberapa kelompok lain dalam aksi menolak hasil Pemilu 2019 di depan Gedung Bawaslu, Jakarta. Ada beberapa kelompok yang turun saat aksi berlangsung. Mereka ialah kelompok pedemo yang damai, kelompok radikal, kelompok preman bayaran, dan kelompok sakit hati.
Stanislaus juga menduga kelompok sakit hati itu membayar preman untuk membunuh empat tokoh nasional. Hal itu terlihat dari barang bukti yang disita kepolisian.
“Dilihat dari senjata yang disita, ada yang tampak rakitan. Senjata rakitan khas digunakan preman atau pelaku kriminal. Ini kelompok kriminal yang dimanfaatkan kelompok intelektual,” ujar dia.
Stanislaus meminta kepolisian segera mengungkap aktor intelektual dan motif rencana pembunuhan. Itu diperlukan agar kondisi kembali kondusif.
Di sisi lain, dia menjelaskan besarnya fanatisme pada hal tertentu sangat berbahaya. Hal itu juga dapat memunculkan tindakan di luar nalar dan hukum jika sudah kecewa atau sakit hati.
Baca: Kronologi Rencana Pembunuhan Empat Tokoh Nasional
Sebelumnya, Polri mengungkap rencana pembunuhan empat tokoh nasional pada kerusuhan 22 Mei 2019. Polisi menangkap enam tersangka penunggang gelap aksi yang memprotes hasil pemilu itu.
Keenam tersangka tersebut berinisial HK, AZ, IF, TJ, AD, dan AF. Mereka ditangkap di lokasi berbeda.
Pemufakatan jahat ini sudah direncanakan sejak Oktober 2018. Pelaku sempat turun langsung ke lapangan dan berbaur dengan massa aksi saat kericuhan di depan Gedung Bawaslu, Jakarta pada 21 Mei 2019. Namun, polisi berhasil mencegah rencana itu.
Keenam tersangka dijerat Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun penjara.
Dari tangan pelaku, polisi menyita sejumlah barang bukti, yaitu sepucuk pistol Taurus kaliber 38, dua boks peluru k 38 jumlah 93 butir dari tangan HK; pistol jenis Meyer kaliber 52, dan 5 butir peluru dari tangan AZ, sepucuk senpi laras panjang rakitan kaliber 22 dan sebuah senpi laras pendek rakitan kaliber 22 dari tangan TJ, serta rompi antipeluru dengan logo polisi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)