Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkoordinasi dengan Polda Papua, Kodam, BIN daerah Papua dan Baintelkam untuk membahas penanganan kasus Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe. Pembicaraan itu menjelaskan kondisi di Bumi Cendrawasih tetap kondusif meski pimpinan tertingginya di proses hukum.
"Bisa disampaikan bahwa saat ini Papua dalam kondisi kondusif, aman, dan kami sangat yakin masyarakat Papua mendukung upaya penegakan hukum oleh KPK," kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu, 8 Februari 2023.
Ali meyakini masyarakat Papua mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi. Karena, proses hukum Lukas ditujukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat terjamin.
"Hanya demi kesejahteraan masyarakat Papua juga dan kami sangat yakin masyarakat Papua juga mendukung penegakan hukum yang sedang," ucap Ali.
Ali juga mengatakan KPK terus memaksimalkan kinerja tim pencegahannya di Papua agar tindakan koruptif serupa tidak terulang. Masyarakat di Bumi Cenderawasih diharap tidak tersulut dengan informasi yang tidak jelas asal usulnya.
Lebih lanjut, Ali menegaskan kasus Lukas diusut karena adanya laporan dari masyarakat. KPK menjamin bisa membuktikan tudingannya dalam persidangan nanti.
"Alat bukti telah kami miliki basisnya nanti dari kecukupan alat bukti ini dasar dari proses penyidikan perkara ini kami selesaikan hingga proses persidangan," ujar Ali.
Lukas terjerat kasus dugaan suap dan gratifikasi. Kasus yang menjerat Lukas itu bermula ketika Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mengikutsertakan perusahaannya untuk mengikuti beberapa proyek pengadaan infrastruktur di Papua pada 2019 sampai dengan 2021. Padahal, korporasi itu bergerak di bidang farmasi.
KPK menduga Rijatono bisa mendapatkan proyek karena sudah melobi beberapa pejabat dan Lukas Enembe sebelum proses pelelangan dimulai. Komunikasi itu diyakini dibarengi pemberian suap.
Kesepakatan dalam kongkalikong Rijatono, Lukas, dan pejabat di Papua lainnya yakni pemberian fee 14 persen dari nilai kontrak. Fee harus bersih dari pengurangan pajak.
Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono atas pemufakatan jahat itu. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar.
Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.
Lukas Enembe diduga mengantongi Rp1 miliar dari Rijatono. KPK juga menduga Lukas menerima duit haram dari pihak lain.
Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) berkoordinasi dengan Polda Papua, Kodam, BIN daerah Papua dan Baintelkam untuk membahas penanganan kasus Gubernur nonaktif Papua
Lukas Enembe. Pembicaraan itu menjelaskan kondisi di Bumi Cendrawasih tetap kondusif meski pimpinan tertingginya di proses hukum.
"Bisa disampaikan bahwa saat ini Papua dalam kondisi kondusif, aman, dan kami sangat yakin masyarakat Papua mendukung upaya penegakan hukum oleh KPK," kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu, 8 Februari 2023.
Ali meyakini masyarakat Papua mendukung KPK dalam
pemberantasan korupsi. Karena, proses hukum Lukas ditujukan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat terjamin.
"Hanya demi kesejahteraan masyarakat Papua juga dan kami sangat yakin masyarakat Papua juga mendukung penegakan hukum yang sedang," ucap Ali.
Ali juga mengatakan KPK terus memaksimalkan kinerja tim pencegahannya di Papua agar tindakan koruptif serupa tidak terulang. Masyarakat di Bumi Cenderawasih diharap tidak tersulut dengan informasi yang tidak jelas asal usulnya.
Lebih lanjut, Ali menegaskan kasus Lukas diusut karena adanya laporan dari masyarakat. KPK menjamin bisa membuktikan tudingannya dalam persidangan nanti.
"Alat bukti telah kami miliki basisnya nanti dari kecukupan alat bukti ini dasar dari proses penyidikan perkara ini kami selesaikan hingga proses persidangan," ujar Ali.
Lukas terjerat kasus
dugaan suap dan gratifikasi. Kasus yang menjerat Lukas itu bermula ketika Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mengikutsertakan perusahaannya untuk mengikuti beberapa proyek pengadaan infrastruktur di Papua pada 2019 sampai dengan 2021. Padahal, korporasi itu bergerak di bidang farmasi.
KPK menduga Rijatono bisa mendapatkan proyek karena sudah melobi beberapa pejabat dan Lukas Enembe sebelum proses pelelangan dimulai. Komunikasi itu diyakini dibarengi pemberian suap.
Kesepakatan dalam kongkalikong Rijatono, Lukas, dan pejabat di Papua lainnya yakni pemberian
fee 14 persen dari nilai kontrak.
Fee harus bersih dari pengurangan pajak.
Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono atas pemufakatan jahat itu. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar.
Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan
venue menembang
outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.
Lukas Enembe diduga mengantongi Rp1 miliar dari Rijatono. KPK juga menduga Lukas menerima duit haram dari pihak lain.
Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)