medcom.id, Jakarta: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak gugatan para pemohon uji materi UU Perkawinan terkait peningkatan batas usia menikah perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Ishomuddin menilai, penyusunan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan sudah sesuai dengan kemaslahatan masyarakat.
“Sangat wajar negara melakukan batasan usia perkawinan. Tentu saja UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan lengkap dengan pasal-pasalnya maupun penjelasannya itu, telah dibuat oleh pemerintah untuk tujuan ‘tindakan pemimpin atas rakyat itu mengacu pada kemaslahatan bersama,” kata Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Ishomuddin saat persidangan uji materi UU Perkawinan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2014).
Menurut Ishomuddin, terkait batasan usia pernikahan memang terdapat berbagai perbedaan pandangan di berbagai ahli fiqih. Batasan usia baligh akan menjadi suatu jalan yang terang, apabila masing-masing pendapat tersebut diletakkan dan diterapkan pada konteks yang sesuai.
“Misalnya pada konteks beban kewajiban agama, digunakan pendapat yang mengatakan 15 tahun, dan dalam konteks kelayakan untuk nikah itu juga di atas 15 tahun. Kita dapat memahami bahwa ulama-ulama Indonesia terutama Asia Tenggara pada umumnya mengikuti mazhab Al Imam Asyafii,” imbuh Ishomuddin.
Oleh karena itu, dalam mazhab Imam Asyafii, telah menetapkan usia diperbolehkan menikah bagi perempuan minimum adalah 15 tahun. Sedangkan usia menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun.
“Dalam hal ini ulama-ulama Indonesia dalam proses penyusunan undang-undnag No. 1 tahun 1974 ternyata lebih memilih menggunakan mazhab milik Imam Asyafii, karena itulah yang dipandang sesuai dengan kemaslahatan bagsa Indonesia,” ujar Ishomuddin.
Berdasarkan alasan ini, PBNU memohon kepada Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi, untuk tidak mengganti bunyi Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 demi kepantingan masyarakat bersama.
Sebelumnya, hari ini MK telah menggelar sidang tentang pengujian materiil UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945. Agenda persidangan hari ini adalah mendengarkan keterangan MUI, Parisada Hindu Dharma Indonesia, MATAKIN, NU dan Muhammadiyah terkait uji norma pada pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan.
medcom.id, Jakarta: Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak gugatan para pemohon uji materi UU Perkawinan terkait peningkatan batas usia menikah perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Ishomuddin menilai, penyusunan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan sudah sesuai dengan kemaslahatan masyarakat.
“Sangat wajar negara melakukan batasan usia perkawinan. Tentu saja UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan lengkap dengan pasal-pasalnya maupun penjelasannya itu, telah dibuat oleh pemerintah untuk tujuan ‘tindakan pemimpin atas rakyat itu mengacu pada kemaslahatan bersama,” kata Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Ishomuddin saat persidangan uji materi UU Perkawinan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2014).
Menurut Ishomuddin, terkait batasan usia pernikahan memang terdapat berbagai perbedaan pandangan di berbagai ahli fiqih. Batasan usia baligh akan menjadi suatu jalan yang terang, apabila masing-masing pendapat tersebut diletakkan dan diterapkan pada konteks yang sesuai.
“Misalnya pada konteks beban kewajiban agama, digunakan pendapat yang mengatakan 15 tahun, dan dalam konteks kelayakan untuk nikah itu juga di atas 15 tahun. Kita dapat memahami bahwa ulama-ulama Indonesia terutama Asia Tenggara pada umumnya mengikuti mazhab Al Imam Asyafii,” imbuh Ishomuddin.
Oleh karena itu, dalam mazhab Imam Asyafii, telah menetapkan usia diperbolehkan menikah bagi perempuan minimum adalah 15 tahun. Sedangkan usia menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun.
“Dalam hal ini ulama-ulama Indonesia dalam proses penyusunan undang-undnag No. 1 tahun 1974 ternyata lebih memilih menggunakan mazhab milik Imam Asyafii, karena itulah yang dipandang sesuai dengan kemaslahatan bagsa Indonesia,” ujar Ishomuddin.
Berdasarkan alasan ini, PBNU memohon kepada Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi, untuk tidak mengganti bunyi Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 demi kepantingan masyarakat bersama.
Sebelumnya, hari ini MK telah menggelar sidang tentang pengujian materiil UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945. Agenda persidangan hari ini adalah mendengarkan keterangan MUI, Parisada Hindu Dharma Indonesia, MATAKIN, NU dan Muhammadiyah terkait uji norma pada pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LOV)