medcom.id, Jakarta: Buni Yani, tersangka kasus pencemaran nama baik dan penghasutan berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), memngklaim punya bukti penetapan tersangka terhadap dirinya cacat hukum. Buni dijerat Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan hukuman di atas enam tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Buni yang didampingi 10 kuasa hukum saat menjalani sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengatakan, salah satu bukti itu ialah gambar akun-akun yang lebih dulu mengunggah dan menyebar ulang video pidato gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama.
Akun-akun itu juga mencantumkan kutipan lebih provokatif dari Buni Yani. "Satu, kutipan itu bagian dari bukti yang memang tidak menebarkan kebencian. Kedua, banyak puluhan akun yang bahasanya lebih provokatif dan lebih dulu memberikan kutipan yang provokatif. Kalau Buni Yani kan biasa saja," kata salah satu kuasa hukum Buni, Aldwin Rahadian di PN Jaksel, Selasa (13/12/2016).
Aldwin menegaskan, penetapan status tersangka dinilai tidak sah karena tidak berdasarkan Undang-Undang 8/1981 KUHP dan Peraturan Kapolri 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
“Selain caption tidak mengandung faktor tindak pidana, baik dihubungkan atau tidak dihubungkan dengan video Ahok, juga karena barang bukti yang jadi sumber perkara pemohon, belum memiliki keputusan yang berkekuatan hukum tetap," terang dia.
Indikasi cacat hukum lain penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya ialah tidak menunjukkan surat tugas ataupun surat perintah penangkapan terhadap kliennya pada 23 November. Tak adanya gelar perkara juga menjadi salah satu yang dipersoalkan. Padahal, dalam kasus yang menjerat Ahok terkait kasus dugaan penistaan agama, dilakukan gelar perkara.
Majelis hakim diharapkan dapat menerima dan mengabulkan praaperadilan pemohon secara keseluruhan. Pihaknya juga berharap majelis hakim dapat menyatakan penetapan tersangka atas nama pemohon tidak sah secara hukum.
“Majelis hakim menyatakan dan memerintahkan termohon untuk memulihkan hak pemohon dalam segala kemampuan memulihkan harkat dan martabat dan kemampuan secara hukum. ?Menghukum termohon membayar biaya persidangan, atau jika hakim berpendapat lain mohon memberikan hukuman seadil-adilnya," ucap Aldwin.
Gugatan praperadilan Buni ditujukan kepada Kapolri cq Kapolda Metro Jaya dan Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dengan nomor registrasi 147/Pid.Prap/2016 PN Jakarta Selatan terkait penetapan status tersangka atas kasus dugaan penyebaran informasi yang mengundang provokasi dan berbau SARA.
Sementara itu, sekitar enam anggota tim kuasa hukum Polda Metro Jaya selaku pihak termohon hadir di Pengadilan Jakarta Selatan. Hakim tunggal H Sutiyono mengatakan sidang kedua akan digelar kembali pada Rabu (14/12) dengan agenda jawaban dari pihak termohon atas gugatan yang diajukan Buni.
medcom.id, Jakarta: Buni Yani, tersangka kasus pencemaran nama baik dan penghasutan berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), memngklaim punya bukti penetapan tersangka terhadap dirinya cacat hukum. Buni dijerat Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan hukuman di atas enam tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Buni yang didampingi 10 kuasa hukum saat menjalani sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengatakan, salah satu bukti itu ialah gambar akun-akun yang lebih dulu mengunggah dan menyebar ulang video pidato gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama.
Akun-akun itu juga mencantumkan kutipan lebih provokatif dari Buni Yani. "Satu, kutipan itu bagian dari bukti yang memang tidak menebarkan kebencian. Kedua, banyak puluhan akun yang bahasanya lebih provokatif dan lebih dulu memberikan kutipan yang provokatif. Kalau Buni Yani kan biasa saja," kata salah satu kuasa hukum Buni, Aldwin Rahadian di PN Jaksel, Selasa (13/12/2016).
Aldwin menegaskan, penetapan status tersangka dinilai tidak sah karena tidak berdasarkan Undang-Undang 8/1981 KUHP dan Peraturan Kapolri 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
“Selain caption tidak mengandung faktor tindak pidana, baik dihubungkan atau tidak dihubungkan dengan video Ahok, juga karena barang bukti yang jadi sumber perkara pemohon, belum memiliki keputusan yang berkekuatan hukum tetap," terang dia.
Indikasi cacat hukum lain penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya ialah tidak menunjukkan surat tugas ataupun surat perintah penangkapan terhadap kliennya pada 23 November. Tak adanya gelar perkara juga menjadi salah satu yang dipersoalkan. Padahal, dalam kasus yang menjerat Ahok terkait kasus dugaan penistaan agama, dilakukan gelar perkara.
Majelis hakim diharapkan dapat menerima dan mengabulkan praaperadilan pemohon secara keseluruhan. Pihaknya juga berharap majelis hakim dapat menyatakan penetapan tersangka atas nama pemohon tidak sah secara hukum.
“Majelis hakim menyatakan dan memerintahkan termohon untuk memulihkan hak pemohon dalam segala kemampuan memulihkan harkat dan martabat dan kemampuan secara hukum. ?Menghukum termohon membayar biaya persidangan, atau jika hakim berpendapat lain mohon memberikan hukuman seadil-adilnya," ucap Aldwin.
Gugatan praperadilan Buni ditujukan kepada Kapolri cq Kapolda Metro Jaya dan Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dengan nomor registrasi 147/Pid.Prap/2016 PN Jakarta Selatan terkait penetapan status tersangka atas kasus dugaan penyebaran informasi yang mengundang provokasi dan berbau SARA.
Sementara itu, sekitar enam anggota tim kuasa hukum Polda Metro Jaya selaku pihak termohon hadir di Pengadilan Jakarta Selatan. Hakim tunggal H Sutiyono mengatakan sidang kedua akan digelar kembali pada Rabu (14/12) dengan agenda jawaban dari pihak termohon atas gugatan yang diajukan Buni.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)