Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Agenda sidang ialah mendengarkan keterangan presiden dan pemberi keterangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Perkara teregistrasi dengan nomor 86/PUU-XX/2022. Sidang yang dimohonkan wiraswasta bernama Robiyanto itu dipimpin langsung Ketua MK Anwar Usman.
Robiyanto menguji ketentuan masa kedaluwarsa perkara pidana sebagaimana diatur Pasal 78 ayat 1 angka 4 KUHP. Jaksa Agung Muda Bidang Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Feri Wibisono yang mewakili presiden menjelaskan perlunya masa kedaluwarsa.
"Agar adanya kepastian hukum terhadap penanganan suatu perkara," kata Feri dalam sidang virtual di MK, Jakarta Pusat, Senin, 14 November 2022.
Feri mengatakan kepastian hukum menjadi tidak efektif dan sulit dilaksanakan bila tidak ada ketentuan soal masa kedaluwarsa. Sebab, tidak ada kepastian bagi masyarakat dalam penyelesaian suatu perkara.
"Selain itu, semakin lampaunya suatu kasus pidana, juga dibarengi dengan memudarnya bahkan lenyapnya ingatan seseorang terhadap suatu peristiwa pidana," ujar dia.
Hal tersebut membuat usaha menemukan dan mengumpulkan alat bukti kian sulit. Demikian pula dengan penemuan dan pengumpulan saksi-saksi yang mengetahui peristiwa itu.
"Hilang atau rusaknya alat bukti, serta berkurangnya ingatan seseorang yang menjadi saksi terhadap suatu peristiwa, maka akan menyebabkan kegagalan suatu penuntutan," jelas Feri.
Feri menyebut masa kedaluwarsa suatu kasus pidana juga dipengaruhi ancaman hukuman sebagaimana diatur dalam KUHP. Dengan argumentasi itu, presiden menilai dalil Robiyanto tidak berdasar menurut hukum.
Menurut Feri, seorang tersangka pidana dalam pelariannya terus-menerus sudah cukup terhukum dan dihantui rasa bersalah. Perasaan itu mengakibatkan ketidaktenangan hidup tersangka sebagaimana layaknya menjalani hukuman pidana.
"Maka perlu ditentukan masa kedaluwarsa penuntutan kasus pidana," ucap dia.
Sebelumnya, Robiyanto merasa tidak adil soal masa kedaluwarsa penuntutan. Orang tuanya atas nama Taslim dibunuh secara sadis pada 14 April 2002 di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau.
Lantas, Robiyanto melaporkan kejadian itu pada Polres Karimun. Namun perkara atas dua orang yang ditetapkan tersangka dihentikan penyidikannya oleh Polri. Alasannya, hukum perkara kedaluwarsa sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 78 ayat 1 angka 4 KUHP.
Beleid itu berbunyi "mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun." Robiyanto menilai hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Jakarta:
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Kitab Undang-undang Hukum Pidana (
KUHP) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Agenda sidang ialah mendengarkan keterangan presiden dan pemberi keterangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Perkara teregistrasi dengan nomor 86/PUU-XX/2022. Sidang yang dimohonkan wiraswasta bernama Robiyanto itu dipimpin langsung Ketua MK Anwar Usman.
Robiyanto menguji ketentuan masa kedaluwarsa perkara pidana sebagaimana diatur Pasal 78 ayat 1 angka 4 KUHP. Jaksa Agung Muda Bidang Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Feri Wibisono yang mewakili presiden menjelaskan perlunya masa kedaluwarsa.
"Agar adanya kepastian hukum terhadap penanganan suatu perkara," kata Feri dalam sidang virtual di MK, Jakarta Pusat, Senin, 14 November 2022.
Feri mengatakan kepastian hukum menjadi tidak efektif dan sulit dilaksanakan bila tidak ada ketentuan soal masa kedaluwarsa. Sebab, tidak ada kepastian bagi masyarakat dalam penyelesaian suatu perkara.
"Selain itu, semakin lampaunya suatu kasus pidana, juga dibarengi dengan memudarnya bahkan lenyapnya ingatan seseorang terhadap suatu peristiwa pidana," ujar dia.
Hal tersebut membuat usaha menemukan dan mengumpulkan alat bukti kian sulit. Demikian pula dengan penemuan dan pengumpulan saksi-saksi yang mengetahui peristiwa itu.
"Hilang atau rusaknya alat bukti, serta berkurangnya ingatan seseorang yang menjadi saksi terhadap suatu peristiwa, maka akan menyebabkan kegagalan suatu penuntutan," jelas Feri.
Feri menyebut masa kedaluwarsa suatu kasus pidana juga dipengaruhi ancaman hukuman sebagaimana diatur dalam KUHP. Dengan argumentasi itu, presiden menilai dalil Robiyanto tidak berdasar menurut hukum.
Menurut Feri, seorang tersangka pidana dalam pelariannya terus-menerus sudah cukup terhukum dan dihantui rasa bersalah. Perasaan itu mengakibatkan ketidaktenangan hidup tersangka sebagaimana layaknya menjalani
hukuman pidana.
"Maka perlu ditentukan masa kedaluwarsa penuntutan kasus pidana," ucap dia.
Sebelumnya, Robiyanto merasa tidak adil soal masa kedaluwarsa penuntutan. Orang tuanya atas nama Taslim dibunuh secara sadis pada 14 April 2002 di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau.
Lantas, Robiyanto melaporkan kejadian itu pada Polres Karimun. Namun perkara atas dua orang yang ditetapkan tersangka dihentikan penyidikannya oleh Polri. Alasannya, hukum perkara kedaluwarsa sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 78 ayat 1 angka 4 KUHP.
Beleid itu berbunyi "mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun." Robiyanto menilai hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(END)